Tak ada tempat menumpang, Wallas, warga Desa Bonorejo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat terpaksa membangun gubuk di tengah kandang sapi milik warga.
POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com - Potret kemiskinan di negeri ini kian nyata. Karena tak punya pilihan tempat menumpang, sepasang suami istri di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, terpaksa membangun gubuk di tengah kandang sapi. Sudah pasti bau kotoran hewan yang menyengat hidung menjadi teman sepanjang hari. Lingkungan yang tidak bersih jelas rawan membawa beragam penyakit.
Hidup serba terbatas tak menjadikan keluarga kecil ini berpangku tangan dan berharap belas kasih dari pemerintah. Bertahun-tahun tak mendapat jatah raskin tak membuat keluarga miskin ini iri ke tetangga dan pemerintah desa yang melupakan hak-haknya sebagai warga miskin.
Sudah tiga tahun lebih, Wallas (52) dan istrinya Rabiah (40) hidup di gubuk berukuran tak lebih dari 2 x 3 meter persegi. Rumah berdinding anyaman bambu dan beratap rumbiah ini adalah pemberian warga yang bersimpati dengan keluarga Wallas. Bangunan gubuk ini persis di tengah lokasi kandang sapi, di desa Bonorejo, kecamatan Tapango, Polewali mandar.
Wallas sebetulnya sadar akan risiko membangun rumah di tengah kandang sapi seperti ini. Tidak hanya rawan mengundang beragam penyakit, namun bau tak sedap yang menyegat hidung sudah pasti mengganggu kesehatan. Namun, karena tak punya pilihan tempat, Wallas dan istrinya Rabiah terpaksa menumpang di lokasi yang tidak layak dan tidak sehat ini.
Warga asal Jawa Barat yang sudah puluhan tahun merantau ke Polewali Mandar, sebetulnya sudah berkali-kali pindah lokasi. Wallas pindah karena lahan tumpangan tempat gubuknya berdiri, kerap dijual atau dialihfungsikan pemiliknya, hingga ia harus mencari tempat lain. Terakhir, tiga tahun lalu Wallas pindah ke lokasi ini karena sudah stres mencari tempat, namun tak ada warga yang bersedia memberikan lahannya, hanya sekedar menumpang untuk membangun gubuknya.
Profesinya sebagai buruh bangunan yang tidak menentu, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, apalagi harus membeli lahan dan rumah layak huni. Order bangunan yang sepi dan tak menentu, kian membuat kehidupan Wallas terpuruk.
Agar bisa tetap bertahan hidup wallas dan istrinya rabiah kini memilih menjadi tukang pungut kelapa yang jatuh di lahan kebun milik orang lain. Sejak pagi, Wallas bersama Rabiah istrinya meninggalkan rumah, satu persatu kebun kelapa milik warga disisir, dengan harapan ada kelapa jatuh yang bisa dipungut dan dibawa pulang ke rumahnya.
Sebagian hasil kelapa yang dipungut dari lahan milik orang lain itu langsung dijual ke pedagang atau diolah menjadi minyak goreng sebelum dijual ke pasar. Keluarga kecil ini sebetulnya pernah dikarunia tiga orang anak. Namun, ketiganya meninggal dunia karena terserang penyakit. Keluarga ini tak mampu membawa anak mereka berobat ke rumah sakit.
Keluarga miskin yang sudah puluhan tahun menjadi penduduk desa ini tak pernah mendapat jatah raskin dari pemerintah setempat. Dengan selembar KTP Wallas menunjukkan identitas dirinya kepada wartawan sebagai warga desa Bonorejo yang sah. Toh, keluarga Wallas tak lantas frustrasi, apalagi memperotes pemerintah, karena tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara.
"Pemerintah kan pasti sudah tahu siapa warga yang layak mendapatkan bantuan raskin," ujarnya. Wallas mengharamkan keluarganya jadi pengemis, apalagi mencuri untuk sesuap nasi atau menghalalkan segala cara.
0 komentar:
Posting Komentar