Angelina Sondakh, Puteri Indonesia 2001 yang menjadi istri almarhum Adjie Massaid, menyimpan kenangan indah tentang politisi Partai Demokrat yang meninggal, Sabtu (5/2/2011). Semula, Adjie yang naksir pada Angelina, begitulah tertulis pada diarinya. Beberapa kali Adjie mengirim salam. Namun, Angelina Sondakh selalu berusaha tidak meresponsnya.
Angelina Sondakh merasa Adjie Massaid tipe lelaki yang berbaik hati kepada semua orang. Berikut ini adalah catatan Angelina Sondakh di blog-nya tentang suaminya itu, tertanggal 25 Januari 2006, sekitar setahun setelah mereka menikah, sebagaimana dikutip Tribunnews.com, Sabtu.
ADJI MASSAID (The man I once ignored). Aku mengenal nama Adji Massaid sudah cukup lama. Namanya memang sudah tidak asing lagi dalam dunia perfilman dan persinetronan. Namun itu hanya sebatas mengenal dan sekedar tahu saja. Pada saat itu kami sama-sama masih menjadi calon legeslatif dari Partai Demokrat. Pertemuan partai, rapat – rapat partai dan kegiatan – kegiatan di partai membuat kami pun sering bertemu. Apalagi pada kesempatan mensukseskan calon Presiden Partai Demokrat : Susilo Bambang Yudhoyono.
Jujur, saat itu aku tidak tahu banyak tentang kehidupan pribadi Adji dan lebih daripada itu rasanya kami berdua pun tidak tertarik untuk ingin mengenal satu sama lain lebih jauh. Pembicaraan kami hanya sebatas pekerjaan, tidak pernah melewati batas privasi masing – masing. Rasanya kami berdua cukup memahami posisi masing – masing, sehingga kalaupun harus berbicara pasti topiknya tidak lari dari partai dan pemenangan pemilu.
Sebenarnya latar belakang public figure-lah yang membawa kami bergabung di Partai Demokrat (kami diajak oleh Sys NS untuk bergabung di PD, thank you mas Sys). Kami juga tergolong generasi muda. Dan sebenarnya, inilah yang bisa menjadi alasan rasional untuk membangun komunikasi diantara kami. Tapi entahlah …. saat itu saya sibuk dengan aktifitas sehari-hari dan dia juga sepertinya begitu. Yang pasti, pertama kali mengenal Adji kami berdua sedang tidak sendiri. Saya pada waktu itu sedang merajut asmara dengan seseorang begitupun Adji yang masih terikat perkawinan. Kami pun menghargai pasangan kami masing2.
Hari – hari di DPR saya lalui dengan penuh semangat ingin belajar dan belajar. Saya mulai menikmati ritme kerja yang benar-benar baru bagi saya. Dalam jadwal saya yang padat di gedung parlemen, sering saya bertemu dengan Adji namun itu sebatas, “say hello” saja. Pernah kami tidak sengaja bertemu di ruangan kerja salah satu teman fraksi, saat itu Adji sempat mengajak saya berdiskusi soal apa pendapat masyarakat tentang permasalahannya. Tapi saya enggan berkomentar terlalu banyak. Setelah saya beranjak dari ruangan tersebut ternyata Adji menitipkan pesan untuk disampaikan kepada saya bahwa dia tertarik dengan saya. Itupun saya tidak menanggapi secara serius tapi saya tanggapi secara ringan dengan memberikan support kepada Adji untuk tetap bertahan walau seberat apapun permasalahannya.
Walaupun demikian saat itu tidak ada perasaan yang ‘lain’ yang saya rasakan dan memang kamipun akhirnya berada dalam komisi yang berbeda. Ini jugalah yang membuat kami jarang sekali bertemu dan jarang berkomunikasi. Kami hanya bertemu pada rapat fraksi setiap jumat dan itu pun minim sekali interaksinya. Dia selalu duduk di sayap barat dan saya di sayap timur. Nothing special. Dia kuanggap sebagai teman biasa saja. Nothing more. Bukan Adji namanya kalau tidak terus mencoba dan mencoba. Sering aku dikirimi salam melalui orang-orang yang tinggal bersama saya.
“Ibu, ada salam dari Pak Adji’ tutur pembantu saya.
Namun aku selalu mengabaikannya. Bahkan terkadang walaupun ada ‘godaan-godaan’ kecil, itu selalu kuanggap ‘dasar laki-laki’. Pernah juga Adji memanggil nama saya lewat speaker sidang …. Angie! Dengan tatapannya yang ‘romantis semu’ namun saya pada waktu itu masih bisa menyakinkan diri saya bahwa itulah Adji. He is treating every woman like that because he is nice to everybody. Saya hanya tidak ingin menanggapi mas Adji serius, walaupun terkadang ketika bertemu dia selalu memberikan pujian….sekali lagi itu kuanggap sebagai basa – basi saja and Yes he is doing it to everybody. Pernah juga Adji menyampaikan kekagumannya pada saya lewat teman se-partai, pada waktu itu saya hanya menanggapi dengan kata-kata: ‘kayak nggak tahu Adji aja’. Tapi saya tetap menganggap Adji sebagai sahabat dan itu tidak mengurangi rasa persahabatan saya dengan dia dalam konteks kepentingan partai tentunnya.
Setelah beberapa waktu lamanya, sayapun akhirnya sendiri dan Adjipun sepertinya mulai menikmati kesendiriannya. Walaupun saya selalu mendengar bahwa Adji tidak pernah benar – benar sendiri, karena Adji adalah tipe orang yang easy going dan ingin bersahabat dengan siapa saja. Pernah suatu waktu dalam pertemuan partai seorang teman mengatakan: ‘Angie, Adji kirim salam ….. kayaknya dia naksir sama kamu’. Terus saya jawab dengan bergurau: “Keep trying hard, I need to see more effort”. Karena berbagai kesibukan, kami pun semakin jarang berkomunkasi. Namun tetap saja Adji selalu kirim salam melalui staff saya. Dan itupun saya tidak membalas salamnya, karena saya menganggap itu adalah gombalnya laki-laki. Yaah…itulah yang ada dibenak saya pada waktu itu : Adji termasuk laki-laki yang baik ke semua orang. Jadi biarlah aku menganggap semua itu sebagai angin lalu saja. Dan dalam hatiku …… Gombal.
Saya selalu menghindar dari Adji dalam setiap kesempatan. Bahkan pada setiap kunjungan partai ke daerah, saya selalu menanyakan asisten saya, apakah Adji ikut dalam rombongan. Dan saya pesankan, kalau ada, tolong diusahakan agar seat saya terpisah dengan Adji. Sebagaimana foto yang saya tampilkan dalam webblogs ini. Mungkin dapat bercerita banyak tentang penolakan saya terhadap Adji. Tapi semua itu akhirnya luluh lantah…………