Aku hanya mondar-mandir di depan kamar yang berlawanan ini sedari tadi. Setelah cukup lama aku mondar-mandir ke sana ke mari, aku mencoba mengintip melalui kaca lebar yang membentang itu menyaksikan bagaimana para dokter mengoperasi adikku. Sesaat kemudian aku melangkah ke satu ruangan dibalik ruang ini, di sana juga aku melihat seseorang yang aku sayangi terbaring pasrah atas apa yang dilakukan dokter padanya. Aku di sini hanya sendiri dengan kebingunganku. “Apa yang harus aku lakukan? Beri aku petunujuk, Tuhan! Selamatkan mereka berdua! Engkau pasti tahu bahwa aku sangat menyayangi mereka berdua.” Bisikku dalam batin. Sejenak aku hanya terdiam memikirkan apa yang terjadi, “Mama, Papa, Mona minta doa ya dari Papa sama Mama, semoga Lisa dan Davin bisa selamat.”
“Dokter! Bagaimana saudara saya, Dok? Apa dia baik-baik saja?” Spontanku ketika seorang dokter keluar dari ruang operasi.
“Operasi sudah berhasil, tapi keadaan saudara Lisa belum sembuh total. Kondisinya masih lemah. Dan beliau ingin ingin bertemu dengan anda.”
“Terimakasih, Dok!” Seruku. “Sama-sama. Sebentar lagi Lisa akan dipindahkan ke kamar rawat, saya permisi dulu ya!”
Aku tercengang bahagia ketika melihat adikku terbaring lemas setelah melewati masa-masa kritisnya. “Mona! Lisa takut nggak bisa lihat Mona lagi.” Serunya ketika melihatku masuk ke kamarnya. “Sekarang Mona bahagia bisa lihat kamu senyum lagi.” Tak sengaja air mataku mengalir memaksa untuk keluar.
“Mona jangan nangis, ntar nggak cantik lagi lo! Lisa udah nggak secantik Mona, Lisa udah semirip Mona, mungkin orang berpikir kita juga bukan saudara kembar, Lisa udah jelek!” Senyumnya terpaksa ingin menangis.
“Lisa tetep cantik kok! Mona pingin Lisa cepet sembuh, bisa jalan bareng lagi sama Mona!”
“Mon, Davin gimana?” Tanyanya sontak.
“Mona belum nengokkin dia, Sayang! Mona tadi langsung nyamperin kamu ke kamar, Mona udah khawatir sama kamu.” Tak aku sadari, Lisa mulai menangis. “Lisa kenapa?”
“Lisa boleh minta sesuatu?” Tanyanya. “Bilang aja! Apapun yang kamu mau, kalau Mona sanggup, pasti Mona lakuin buat Lisa!”
“Mona tahu kan kalau Lisa punya penyakit yang nggak bisa disembuhin?” “Lisa nggak boleh ngomong gitu!” Selaku.
“Dengerin Lisa dulu, Mon! Mungkin waktu Lisa cuma tinggal sebentar lagi. Umur Lisa nggak lama lagi, Mon! Dokter udah memvonis penyakit Lisa ini cepat atau lambat akan mengakhiri usia Lisa. Sekarang Lisa minta, Mona jagain Davin ya!” Jelas Lisa sambil menggenggam tanganku erat hingga aku bisa merasakan denyut nadinya.
“Tapi, Lis…” Potongku. “Lisa tahu, Mona sayang banget kan sama Davin. Tapi Mona ngalah dari Lisa demi kebahagiaan Lisa kan?”
“Maafin Mona ya, Lis! Mona lebih sayang Lisa dari pada Davin!” Genggaman tangan Lisa mulai melemah dan akhirnya lepas dari tanganku, sekarang tangannya telah lemah lunglai ikut terbaring dengan tubuhnya yang tak berdaya. “LISA! LISA! LISA, bangun! LISAAA!” Aku berlari keluar mencari dokter yang bisa aku temui.
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dari kamar Lisa. “Gimana Lisa, Dokter?” Dokter hanya menggelengkan kepalanya. Aku pun tak bisa menahan rasa sedih dan tangisku yang terus meluap-luap.
Lisa kini telah beristirahat panjang di samping papa dan mama. Mereka kini bersatu menjadi satu. Begitu hatiku sangat terpukul, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Mama, Papa, dan Lisa telah berada di surga.
“Mama, Papa, Mona kangen. Sekarang Mona sendiri, Mona nggak punya siapa-siapa lagi, Pa, Ma! Mona kangen masa-masa kita sekeluarga piknik bareng, jalan bareng, ketawa bareng, bercanda bareng. Apa bisa hal itu terulang lagi seperti dulu? Apa bisa kita kumpul lagi seperti dulu? Mona tahu itu mustahil, tapi Mona berharap Mona bisa ketemu Papa, Mama, dan Lisa. Mona selalu sayang kok sama papa, mama, Lisa. Mona nggak akan pernah ngelupain kalian. Lisa, Mona janji, Mona akan jagain Davin demi kamu, Mona akan selalu ada di sisi Davin, Mona akan selalu ada buat Davin, supaya Davin nggak kehilangan sosok Lisa disampingnya. Mona ikhlas dengan kepergian keluarga Mona. Mona berjanji, Mona akan bangkit dan jadi lebih baik lagi. Papa, Mama, Lisa, Mona ijin pulang dulu ya! Mona mau lihat keadaan Davin. “
Kutengok ke kanan dank e kiri, tapi tak ada satupun kendaraan yang lalu-lalang di daerah pemakaman ini, kuputuskan untuk berjalan kaki, mungkin saja nanti aku menemukan kendaraan dari pada aku hanya berdiam diri di pemakaman ini. Letih sudah aku berjalan, tiga puluh menit aku melangkah, ya bagaimana mungkin ada taksi di desa terpencil seperti ini. Sebuah mobil merah berhenti tepat di depanku, lalu seorang pria keluar dari mobil itu. “Itu Nanda” Gumamku.
“Hai! Mona? Masih inget kan sama aku?” Sapanya. “Yah, tentu.” Aku haya diam tercengang. “Kok malah bengong? Ngapain kamu di tempat kayak gini, Mon? Aku anterin pulang ya!” Aku hanya mengangguk perlahan. Kulangkahkan kakiku memasuki mobil asing dengan orang yang sudah tak asing lagi bagiku itu. Beberapa menit kemudian, mobil ini mulai melaju.
“Mon, kamu kenapa?” Tanya Nanda. “Nan, sekarang anterin aku ke rumah sakit ya! Nanti aku certain semuanya. Ok?” Ia hanya tersenyum. Sekitar empat puluh lima menit perjalanan kami menuju rumah sakit. Ketika aku turun, aku langsung berlari menuju meja resepsionis. “Mbak, pasien bernama Davin dirawat di mana ya?” “Kamar nomor 18, Mbak.”
Aku segera menuju ruangan itu. Spontan aku membuka pintu kamar dengan paksa. “Davin?” Gumamku seketika aku melihat Davin terbaring seperti manusia yang sudah tak bernyawa. Aku mendekat ke arahnya. “Om, Tante, Davin kenapa?” Tanyaku seraya aku menangis. “Davin lumpuh, Sayang! Dan sekarang dia masih koma.” Yang aku pikirkan sekarang hanya satu, bagaimana cara memulihkan Davin? Dan aku juga telah berjanji pada adikku, Lisa agar aku selalu ada untuk Davin, dan selalu menjaganya.
Beberapa saat kemudian aku keluar dari kamar itu. “Mon, kamu kenapa?” Tanya Nanda saat melihatku keluar dari ruangan itu. “Kamu kok masih ada di sini?” Tanyaku heran.
“Aku nunggu kamu, Mon.” “Harusnya kamu pulang aja, Nan!” Tolakku sambil aku mulai menangis. Rasanya kepedihanku tiada habisnya. “Kamu sudah berjanji mau menceritakan semuanya.” Sejenak kami saling terdiam. “Nan, aku uda kehilangan semuanya. Aku uda kehilangan mama, papa, adikku, dan sekarang aku hampir kehilangan orang yang juga aku sayangi. Sekarang aku sendir, Nan. Aku nggak punya siapa-siapa lagi.” Aku terhenti. Nanda memelukku, “Jangan berpikir kamu sendiri, masih ada aku. Aku akan selalu ada buat kamu.”
Satu hari, dua hari, tiga hari, empat hari, lima hari, enam hari, satu minggu, dua minggu, tiga minggu, Davin belum juga terbangun dari tidur panjangnya. Ku genggam tangannya, kurasakan setiap denyut nadinya. Lalu aku pun terlelap dengan kebosananku yang tak ada hentinya. Dalam lelapku, aku merasa ada yang meremas genggaman tanganku. “Davin?” Lalu aku melihat Davin tersedak. Aku segera memanggil dokter. “Bagaimana, Dok?” Tanyaku. “Alhamdulillah, Davin sudah sadar. Kondisinya sudah normal kembali. Tapi, Davin harus ikut terapi kalau ingin dapat berjalan lagi.” “Terimakasih, Dok!”
Aku masuk berjalan perlahan, “Davin? Akhirnya kamu sadar.” Aku menangis terharu melihat Davin yang tidak tahu apa-apa. “Mona?” Kita saling bertatapan, dalam sekali rasanya, apa mungkin dia merasakan apa yang aku rasakan? “Lisa gimana?” “Lisa udah nggak ada, Vin. Lisa nyusul mama sama papa.”
“Boleh aku minta sesuatu?” Tanya Davin.
“Apa?” Tanyaku.
“Jangan tinggalin aku, Mon! Aku butuh kamu. Jangan pernah kamu jauh dari aku.”
“Iya, Vin. Aku akan jagain kamu.”
Sudah hampir dua bulan aku menemani Davin menjalani terapinya, dan hampir dua bulan juga Nanda kembali ke kehidupanku. Nanda yang dulu meninggalkanku, entah kenapa sekarang kembali. “Davin, makan dulu yuk! Aku suapin ya!” Inilah rutinitasku, menjadi bagian dari Davin. Tapi, aku bahagia bisa melihatnya kembali seperti semula. Seketika, seseorang membuka pintu. Itu Nanda! “Mon, bisa bicara sebentar?” Tanya Nanda. “Bisa. Sebentar ya, Vin.”
“Mon, apa kita bisa sama-sama seperti dulu lagi?”
Aku terdiam sejenak, “Maaf, Nan! Kamu tahu, aku sudah mencintai orang lain. Aku harap kamu ngerti. Maaf, aku mau masuk dulu ya!”
“Habis ngapain, Mon?” Tanya Davin. “Em, bukan apa-apa kok. Yuk makan lagi!”
Malam harinya, Davin memintaku datang menemuinya di rumah sakit. “Ada apa, Vin?” Aku terpaku, nggak ada Davin di tempat tidurnya. Hanya ada sepucuk surat. Surat itu membawaku ke suatu tempat di tepi danau, di sana tempat favorit Davin ketika dia merasa penat. “Davin? Ada apa?”
Tak kusangka, Davin berdiri dari kursi rodanya. Aku terkejut. “Kamu, kamu uda bisa berdiri?” Takjubku. “Malahan aku udah bisa lari.”
“Mona, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Aku saying sama kamu, Mon. Sayang semenjak kita deket, bukan Lisa yang aku suka, tapi kamu. Aku cuma penge buat kamu bahagia dengan membahagiakan Lisa. Dan sekarang aku ingin membahagiakan kamu.” Jelas Davin. “Will you marry me?”
Aku tidak menyangka ini yang akan terjadi. “Davin, aku juga saying sama kamu, and yes, I will. I will be your wife.” Davin memasangkan cincin di jari manisku. Tapi aku juga nggak mau menikah tanpa restu. Akhirnya, di hadapan mama, papa, dan Lisa, aku dan Davin meminta restu untuk menikah.