Selepas Kau Pergi
Tema: Deathday
Judul: Selepas Kau Pergi
Panjang: One-shot, 6.357 karakter
Genre: Romance
Bahasa: Indonesia
Bentuk: Short story, obituari
Rating: All ages
Harry menghela nafasnya yang semakin berat sekali lagi. Di sekelilingnya terdapat seluruh keluarganya. Ginny, istrinya tercinta yang selalu cantik bahkan di umurnya yang ke 86, menangis di tepi tempat tidurnya. Anak perempuan satu-satunya, Lily, di sebelahnnya, merangkul ibunya. James dan Albus beserta keluarga mereka masing-masing di sisi lain tempat tidur. Mereka semua terlihat cemas melihat Harry yang tergolek tak berdaya di tempat tidur.
“Harry, sayang,” bisik Ginny di tangah isakannya.
Samar-samar Harry mendengar suara itu, suara yang selalu dirindukannya.
“Kau tidak boleh pergi dariku secepat itu,” kata Ginny lagi. Air mata masih mengalir dari kedua mata Ginny yang tampaknya tidak akan pernah merelakan kepergian Harry.
Menurut Healer Giatros, hidup Harry tak akan lama lagi. Berminggu-minggu dirawat di St. Mungo membuat penyakit yang diderita Harry semakin parah bukan semakin sembuh. Akhirnya, pilihan terakhir keluarga mereka ialah membawa kembali lagi ke rumah. Keinginan Harry memang selalu seperti itu, meninggalkan dunia yang telah memberikannya kebahagiaan ini dengan damai dikelilingi oleh istri, anak, dan cucu-cucunya.
“Gin..ny,” rintih Harry perlahan sambil memegang tangan Ginny, “Ma..af, a..ku tak bisa bersa..ma.mu,” susah payah Harry mengatakannya.
“Ssst, jangan berkata seperti itu, Harry,” seru Ginny ditengah isakannya, “Kau pasti sembuh.”
“Jang..ngan me..na..ngis, Gin, ter..senyum…lah,” kata Harry.
Harry tersenyum dengan susah payah, ia tak ingin istrinya bersedih, namun apa daya, ia tak kuat lagi menahan rasa sakit yang dideritanya ini.
“Waktu..ku tak la..ma, Gin, ter..senyum..lah,” kata Harry.
Harry ingin hal terakhir yang dilihatnya ialah senyuman Ginny. Senyuman yang selalu membangkitkan semangatnya di saat ia putus asa. Senyuman yang selalu membuatnya tenang dan damai, membuatnya semakin mencintai wanita yang menggenggam tangannya kini.
Dengan masih berlinangan air mata, Ginny tersenyum. Ia berfirasat bahwa itu adalah permintaan Harry yang terakhir. Ia tersenyum dengan hati yang merintih melihat nafas Harry yang semakin tersengal-sengal.
Benarlah firasat Ginny, tak lama kemudian, mata Harry yang sehijau zamrud tertutup secara perlahan-lahan, genggamannya di tangan Ginny terlepas, nafasnya yang tadi tersengal-sengal tak terdengar lagi. Ia sudah pergi meninggalkan dunia ini.
“Dad…” seru Lily. James dan Albus hanya terdiam. Mata Albus terlihat berkaca-kaca, istrinya merangkulnya sambil menangis.
“Harry, sayang, Harry…” kata Ginny. Air matanya semakin deras mengalir, ia memeluk tubuh Harry yang sudah tak bernyawa itu. “Kau tak boleh meninggalkanku, Harry,” kata Ginny.
Tapi, Harry Potter yang hebat itu telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
***
Quote
Telah Meninggalkan Kita Semua,
Harry James Potter
Grimmauld Place 12, tanggal 23 Juni 2068 pukul 16.00
Meninggalkan seorang istri, Ginevra Molly (Weasley) Potter. 3 orang anak, James Sirius Potter, Albus Severus Potter, Lily Luna Potter-Scamander, 8 orang cucu serta 1 orang cicit.
Harry James Potter, mantan Kepala Divisi Auror di Kementrian Sihir, anggota dewan kehormatan Perserikatan Sihir Dunia, merupakan salah satu penyihir terbesar di zamannya. Ia memiliki 10 penghargaan Order of Merlin kelas Pertama atas jasa-jasanya. Ia juga Sang Terpilih yang mengalahkan Lord Voldemort, Sang Pangeran Kegelapan. Banyak sekali jasanya yang sangat berarti pada dunia persihiran yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
James melipat korannya, berita itulah yang ia baca pertama kali saat membaca koran, kematian ayahnya yang menggemparkan dunia sihir. Pagi ini ayahnya akan dimakamkan, sebagai anak tertua James bertanggung jawab membereskan semua hal yang berhubungan dengan pemakaman ayahnya. Ibunya masih mengunci diri di kamar, kematian ayahnya membuatnya sangat berduka. Lily membujuknya untuk keluar, namun sepertinya itu tak mungkin berhasil. Mum akan keluar saat pemakaman akan dimulai, pikirnya. Tak lama, Albus datang menghampirinya.
“James, banyak wartawan di luar. Kita terima?” tanya Albus pada James. Mereka sudah berjaga-jaga akan hal tersebut sejak kemarin.
“Tidak, Mum masih sedih, jangan biarkan ia bertambah kalut dengan adanya wartawan,” kata James pada adiknya.
James menghela nafasnya, merasa lelah semalaman tidak dapat memejamkan mata barang semenitpun. Masih merasa tidak percaya bahwa ayahnya sudah meninggal.
***
Ginny berdiri di depan makam Harry didampingi oleh ketiga anaknya beserta menantu-menantunya. Pemakaman itu terasa sangat kabur baginya. Ia masih tidak percaya, sesosok tubuh yang ada di dalam peti yang dikubur di depannya ini adalah Harry, orang yang paling dicintainya. Ia tak dapat melepas sosok Harry dalam hidupnya.
“Loyalitas serta dedikasinya…” pidato Ted di podium dekat makam.
Ginny tidak dapat lagi mendengar pidato Ted Lupin, anak baptisnya. Tiba-tiba semua menjadi gelap.
“Mum!!!”
***
“Ginny,” bisik sebuah suara yang sangat familiar di telinganya.
Ginny membuka mata, Harry! pikirnya. Tidak mungkin, batinnya, Harry kan sudah…
Ia melihat ke sekelilingnya, putih, bersih, tak ada apa-apa.
“Gin, aku tahu apa yang akan kau katakan,” kata Harry yang sekarang berada di hadapannya, “Jangan bersedih, sayang.”
Ginny ingin berkata bahwa ia sangat kehilangan Harry, tapi ia tak bisa mengeluarkan suara. Harry kembali berbicara padanya.
“Jangan bersedih, Ginny. Aku tak ingin melihat kalian semua bersedih,” kata Harry sambil membelai rambut Ginny, “Suatu saat kita akan bertemu kembali,”
Kata-kata Harry yang terakhir diiringi dengan menghilangnnya sosok Harry dari hadapan Ginny.
***
“Mum! Al, ambilkan obat Mum di tasnya!” sahut James.
Tiba-tiba mata Ginny terbuka, ia sadar. Ia pingsan selama beberapa saat tadi. Membuat panik seluruh pelayat dan mengacaukan prosesi pemakaman yang terpaksa terhenti.
Lily yang ada di sampingnya mulai menangis. Ginny yang melihat hal tersebut menhapus air mata anak perempuannya itu.
“Jangan menangis, Lily. Ayahmu tidak ingin kita semua bersedih,” kata Ginny.
James, Albus dan Lily serta keluarganya yang lain yang mendengar hal tersebut terkejut. Bukankah selama ini yang paling terpukul akan kematian Harry ialah Ginny?
“Meskipun ia meninggalkan kita semua, tapi ia selalu ada di hati kita semua,” kata Ginny.
Ya, Ginny sekarang sadar, buat apa ia bersedih berlarut-larut. Hanya akan membuat beban orang-orang di sekitarnya. Ia yakin, meskipun Harry tak ada di sampingnya saat ini, tapi Harry akan selalu ada di hatinya, selalu. Ia percaya, suatu saat mereka akan bertemu kembali dan tak akan pernah berpisah lagi.
Happy Birthday, Fred
Tema: Birthday
Genre: Er--Family?
Rating: All Ages..
Disclaimer: Lagi-lagi punya JK Rowling smuwa Sad
Seorang pemuda berambut merah baru saja terbangun dari tidurnya yang lelap. Dia duduk sebentar di tepi tempat tidurnya, masih setengah tidur. Kemudian, dia meraih tongkatnya yang terletak di samping bantalnya, menjentikkannya ke arah jendela yang langsung terbuka.
Sinar matahari pagi menyinari kamar yang cukup kecil itu. Mata George tertuju pada kalender yang tergantung di samping jendela. Kalender itu menunjukkan tanggal satu April.
Sudah bulan April? Waktu cepat sekali berlalu, ya, Fred, batinnya dalam hati. Sudah berbulan-bulan Fred meninggal, tapi dia belum juga bisa berhenti berbicara kepada Fred dalam hatinya. Dia masih belum terbiasa dengan kematian saudara kembarnya yang begitu mendadak itu.
Di samping kalender yang bisa membalik halamannya sendiri itu, ada beberapa foto. Hampir semua foto itu dihuni oleh dua orang anak laki-laki berambut merah. Kedua anak laki-laki itu tertawa-tawa dan melambai pada George.
Di antara semua foto yang tampaknya sudah cukup lama diambil itu, ada sebuah foto yang masih baru. Fred dan George sedang nyengir lebar di depan toko mereka, Weasley Wizard Wheezes di Diagon Alley.
Setelah puas memandangi foto-foto itu, George beranjak dari tempat tidurnya, bermaksud mengganti piamanya dengan jubahnya, karena dia harus membuka toko yang tadinya diurus berdua dengan Fred. Sekarang Fred sudah meninggal, jadi George harus mengurusnya sendiri. Verity masih menjadi karyawan tokonya, dan Ron juga membantunya di toko yang semakin hari semakin ramai itu.
Sebenarnya dia ingin tidur di tokonya saja, agar lebih praktis, tidak perlu bangun pagi-pagi untuk berangkat ke London, tapi sudah cukup lama dia tidak mau tidur di sana. Bayangan Fred yang mengajaknya berdiskusi tentang produk baru mereka selalu terbayang di benaknya. Suasana di The Burrow lebih ramai, jadi dia tidak terlalu memikirkan Fred.
George berjalan ke arah lemari pakaiannya dengan lemah. Badannya masih ingin beristirahat setelah lelah mengurus barang-barang pesanan kemarin. Setelah memakai jubahnya, dia menuju ke dapur.
“Mum?” panggil George. “Mum?”
Aneh, pikir George. Biasanya jam segini Mum sudah sibuk di dapur. Masih bingung karena tidak melihat ibunya, George mengambil sepotong roti dari atas meja dan memutuskan untuk langsung pergi ke tokonya saja.
Mungkin Mum memang belum bisa menerima kematian Fred, batinnya lagi. Memang, mata Mrs Weasley selalu berkaca-kaca jika melihat George sejak kematian Fred. Mereka pun jadi jarang mengobrol karena George lebih memilih menghindari ibunya. Hatinya sakit jika melihat ibunya sedih seperti itu.
Sambil menghela napas, George ber-Apparate ke depan tokonya.
“Loh, tidak terkunci?” gumamnya bingung. George merasa sudah mengunci pintu tokonya sebelum pulang ke The Burrow kemarin sore, tapi pintu itu terbuka begitu saja ketika George memutar gagangnya.
Dia baru mau masuk ke dalam tokonya ketika mendengar suara berbisik dan suara anak perempuan terkikik di dalamnya, padahal kelihatannya toko itu kosong.
“Siapa itu?!” George membuka pintu tokonya dan mengacungkan tongkatnya.
“Happy Birthday, George,” terdengar koor yang diselingi tawa dari dalam tokonya. George tersentak kaget. Ternyata seluruh anggota keluarganya, Harry Potter, Hermione Granger, Fleur Delacour dan Lee Jordan dan beberapa mantan anggota Quidditch Gryffindor berada di dalam tokonya, dengan kue ulang tahun besar buatan Mrs Weasley yang berbentuk huruf W.
“Kenapa kalian—“ George tergagap, semua orang yang hadir dalam pesta ulang tahun George itu tertawa. “Siapa yang ulang tahun?”
Mendadak ruangan itu hening. Ginny yang membuka suaranya. “Er—hari ini tanggal 1 April, George. Kau lupa?”
Sekali lagi George tersentak. Dia sama sekali tidak ingat bahwa hari ini adalah ulang tahunnya. “Aku lupa,” katanya sambil nyengir. Sekali lagi semua yang ada di ruangan itu tertawa.
“Ayo, George, jangan cuma berdiri di sana saja! Tiup lilinnya!” kata Mr Weasley sambil menarik George dari pintu. George menurut dan meniup lilin yang berjumlah 21 batang itu. Ketika semua orang sibuk bertepuk tangan dan meminta jatah kue yang besar, George menundukkan kepalanya.
“Er—George?” panggil Percy perlahan. George tetap menunduk, tangannya mengusap matanya. Serentak, Percy dan yang lainnya ikut terdiam dan menunduk. “Georg—“
Mendadak George meledak tertawa, sekali lagi semua orang di dalam ruangan itu menoleh padanya. “April Mop,” kata George dengan senyum usil. “Kalian mengira aku terharu dengan kebaikan kalian?”
Beberapa orang mendelik kesal padanya, dan sisanya tertawa bersama George. “Oke… Potongan pertama,” kata George setelah memotong kuenya. “Untuk Fred.”
Kata-kata George membuat Mrs Weasley terharu dan mengusap matanya yang basah.
“Sisanya, ambil sendiri,” ujar George sambil memakan potongan kue pertamanya.
“George, kau bilang itu untuk Fred?” tanya Lee bingung.
“Memang untuk Fred. Tapi karena dia tidak bisa memakannya, aku saja yang mewakili,” George nyengir usil, mengambil sepotong kue lagi. “Yang ini baru untukku.”
George tidak melepas cengiran palsunya sampai pesta usai. Hatinya masih sakit jika membayangkan Fred ada di sana, tertawa-tawa bersama mereka.
Ini ulang tahun pertamanya tanpa Fred. Bagaimana dia tidak sedih?
“George,” panggil Mr Weasley.
“Ada apa, Dad?” tanya George, menyembunyikan wajah sedihnya.
“Ini,” Mr Weasley memberikan sebuah kado yang berbentuk persegi dan agak besar. “Hadiah dari ibumu dan aku. Well—kami dibantu oleh Minerva dan Filius juga, sebenarnya, jadi ini hadiah dari kami berempat.”
George memandangi kado itu dengan penasaran. “Thanks, Dad, Mum.”
“Bukalah, nak,” kata ibunya. George curiga melihat ayah dan ibunya yang tampaknya tidak sabar melihat ekspresi George.
Perlahan-lahan, George merobek kertas kado yang menyelubungi hadiah itu. Tanpa ia sadari, semua orang yang berada dalam ruangan itu sedang menontonnya membuka hadiah dari orangtuanya—dan McGonagall dan Flitwick.
“Hai, Forge,” sapa sebuah suara yang sangat George kenal. “Happy birthday.”
George menggeleng tak percaya. “Fred?”
“Yep, seingatku itu namaku,” kata lukisan Fred yang melemparkan senyum usil pada saudara kembarnya. “Kau tidak memberi selamat ulang tahun padaku? Ini ulang tahunku juga, loh!”
George tertawa sambil menahan air matanya. Ini hadiah terhebat yang ia dapat dari seluruh ulang tahunnya. “Happy birthday, Fred.”
Ultah a la Lovegood
Seorang pria paruh baya sedang sibuk berkutat di dalam suatu rumah. Rumah yang mirip sekali dengan bidak benteng dalam permainan catur, dan terlihat menjulang megah di atas bukit. Hmm, rupanya pria itu sedang merias ruangan rumahnya tersebut. Tentu saja bukan tanpa alasan dia melakukan hal itu, hari ini adalah hari ulang tahun anaknya yang ke-11 tahun. Makanya, sehari sebelumnya, anaknya tersebut sudah dititipkan ke rumah bibinya, agar anaknya tidak tahu dengan apa yang sedang dikerjakannya.
“Yak, kurasa kalau kuenya dibuat dengan tampilan seperti ini kelihatan lumayan,” kata pria tersebut mengagumi hasil kue yang dihias olehnya yang berbentuk lonjong seperti ulat sedang diam dengan berbagai hiasan, seperti: ranting suatu pohon, krim hijau pekat yang mengelilinya, serta kacang-kacangan yang tersebar hampir di setiap sudut kue itu. Eit, ternyata kue tersebut tidak diam, tadi dia sempat menggeliat sedikit. Mungkin karena terlalu banyak ditambahkan gula sehingga badannya terasa geli.
“Nah, sekarang waktunya menghias ruangan!” ujarnya sambil langsug mengibaskan tongkat sihirnya. Seketika itu juga keluarlah benda-benda dari dalam peti di dekatnya. Cangkang keong yang berkelap-kelip dia biarkan melayang di udara. Kemudian, pita hias yeng bertuliskan ‘Selamat Ulang Tahun’ yang sepertinya terbuat dari cacing pita raksasa yang dikeringkan dan diwarnai ikut dipajang di tengah-tengah ruangan itu. Lalu, saat pria tadi menjentikkan jarinya, keluarlah serombongan kumbang pesta yang langsung berkumpul terbang di atas kue tadi. Sepertinya mereka digunakan untuk orkestra yang melantunkan nada ‘Happy Birthday to You’.
“Ah, sudah hampir pukul 11 siang,” gumamnya, “aku harus bersiap-siap. Anakku bisa saja datang sewaktu-waktu..”
Dengan bergegas, dia pergi ke kamarnya dan memilih jubah terbaiknya. Keputusannya jatuh pada jubah berwarna biru muda. Menurutnya warna itu menandakan bahwa dia mendoakan agar masa depan anaknya secerah warna yang dipakainya, begitu pula otaknya. “Yap, dengan begini, aku sudah siap!”
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
WHUUUSH!!!
Tiba-tiba perapian rumah pria itu bergemuruh dahsyat, diiringi bunyi batuk pelan yang menandakan seseorang sudah masuk ke rumahnya melalui jaringan floo.
“Ayaaaah!!” panggil sang anak sambil menyerbu ke arah pria tadi untuk memeluknya.
“Selamat datang, Luna sayang… Ayo sini, ikuti Ayah!” jawab sang Ayah sambil mengajak putrinya, Luna, ke ruangan yang sudah dihias olehnya itu. “Selamat ulang tahun, Anakku!”
“Woooww!” begitulah kata pertama yang Luna keluarkan saat melihat ruangan yang menurutnya sangat menakjubkan, mata menonjolnya terlihat berkilat-kilat melihatnya. Begitu pula saat dia melihat serombongan kumbang yang berusaha melantunkan nada lagu ‘Happy Birthday to You’ itu. “Kumbang apa ini, Yah? Aku tidak pernah tahu ada kumbang yang bisa dilatih bernyanyi?”
“Wah, wah, berarti kau masih kurang membaca, nak! Ingat tidak edisi ke-278 the Quibbler tentang cara melatih kumbang-kumbang sehingga bisa menjadi kumbang pesta. Kau tinggal mengecat seluruh tubuhmu dengan warna hitam dan gunakan kacamata dari saringan teh ini, maka mereka akan mengira kau sebagai raja Kumbang.” Jelas pria itu panjang lebar. “Nah, kau berbicara kepada mereka dengan mengepitkan tanganmu diantara ketiak, dijamin mereka mengerti. Nanti usahakan dengan ketiakmu keluarkan nada yang akan diajarkan kepada mereka, mereka pasti mengikuti!”
“Sangat menarik! Aku ingin sekali mencobanya!”
“Baiklah, kuhadiahkan saja kumbang-kumbang ini agar bisa kau latih lagu lainnya. Apapun untukmu di hari yang spesial ini..”
“Trims, Yah!”
“Oh iya, sekarang saatnya kau tiup lilin, setelah itu pastinya potong kue..”
Luna tersenyum saat Ayahnya menyalakan lilin di atas kue berbentuk lonjong berwarna hijau dan bertaburan gula warna-warni.
“Sekarang silakan pikirkan doamu, lalu tiup lilinnya sampai padam,” si Ayah menjelaskan.
Anak perempuannya memejamkan mata sesaat, lalu meniup lilin kencang-kencang dan agak kaget saat kue yang ditiupnya seperti menggeliat.
“OK, selanjutnya kau potong kuenya.. Hmm, potong dalam bentuk tak beraturan ya, karena jika dipotong dalam bentuk segitiga biasa, roh-roh perusak kebahagiaan akan hinggap di atas kue. Dengan bentuk ini mereka tak akan hinggap karena tidak suka bentuknya.”
Tanpa banyak bicara si anak mengikuti perintah Ayahnya dan memotong kue tadi dengan asal.
”So, mau kau beri kepada siapa kue ulang tahun ini pertama kali?”
”Hmm, karena tidak ada orang lain di sini, jadi kuberikan pada bapak Xenophilius Lovegood alias Ayahku ini...” jawab Luna yang membuat Ayahnya memberengut. ”Aku bercanda, Yah! Aku benar-benar mencintaimu kok, bukan karena terpaksa. Hehehe...”
”Hehehe, Ayah juga tahu kok.. Hmmm... kuenya enak sekali! Ayo, kau cicipi juga kue buatan Ayah ini!” kata sang Ayah.
“Yeah, enak sekali. Kuenya sangat empuk dan kenyal-kenyal, sangat manis pula!” ucap anaknya jujur setelah mencicipi kuenya juga. “Terbuat dari apa ya kue-kue ini?”
“Bagus sekali kau bertanya. Kue ini kubuat khusus untukmu, terbuat dari ulat El Dorado raksasa yang dibekukan dan diberi kacang-kacangan, krim hijau –ingus troll yang sudah dicampur dengan susu-, serta gula-gula. Dengan memakan ini, dijamin otakmu akan semakin encer deh.”
”Wah, pantas saja tadi aku melihat kue ini sedikit menggeliat!”
”Owh, ternyata sudah agak mencair ya? Gawat sekali, kalau dia sudah benar-benar tidak beku lagi, yang ada dagingnya yang kita makan malah akan hidup di perut kita, malahan bisa-bisa dia akan menggerogoti otak kita. Untung hanya setengah beku ya...” kata pria itu diakhiri dengan tertawa. Tentu saja anaknya ikut tertawa juga, dia tak pernah habis pikir, bagaimana bisa dia memiliki Ayah yang super imajinatif dan nyentrik, serta memiliki pengetahuan luas tentang hewan-hewan sihir. Pastinya anaknya bercita-cita jadi seperti Ayahnya juga.
”Oh iya, Luna, ini kado untukmu.. Silakan dibuka!”
Luna mengambil kado yang diberikan Ayahnya, kemudian membukanya pelan-pelan. ”Wow, tongkat sihir!!”
”Tongkat sihir kayu cemara panjang 10 cm dengan inti bulu unicorn... Milik Ibumu,” ucap sang Ayah. ”Pasti akan cocok jika kau memakainya nanti di Hogwarts.”
Mata anaknya berkaca-kaca, tanpa berkata apapun dia memeluk Ayahnya.
”Ibumu pasti akan bangga, jika melihatmu menggunakan sihir dengan tongkat itu..”
”Hiks.. Terima kasih, Ayah! Aku pasti akan menggunakan tongkat ini dan akan kutunjukkan pada Ibu, aku akan menjadi penyihir hebat nantinya!”
Pria itu langsung terharu mendengar jawaban anaknya, dia memeluk lebih erat anaknya. Pelan-pelan dia melepaskan pelukannya lalu bertanya, ”Ngomong-ngomong, tadi kau meminta apa dalam doamu?”
”Err, aku harus memberitahukan doaku?”
”Tentu saja, daripada kau diburu oleh hantu penagih hutang yang akan mengejar orang-orang yang suka menyimpan rahasia.”
”Oh, iya.. Teman Ayah ’kan ada yang dikirim ke St. Mungo saking stress-nya gara-gara hantu itu mengejarnya dan selalu mengetuk kepalanya setiap hari,” jawab Luna. ”Hmm, baiklah.. Tadi aku meminta agar... err.. Nanti aku bisa menikah dengan laki-laki seperti Ayah!”
”Hahahaha... Kau ini.. Bisa saja!”
”Aku serius lho!”
”Ok, semoga doamu terkabul.. Tapi, untuk menemukan orang yang baik hati dan keren seperti Ayah ini sudah jarang lho!”
”AYAAAH!!!”
”Hahahaha...!!”
Luna yang sebal dengan candaan Ayahnya menyomot krim hijau di kuenya dan langsung dia colekkan di pipi Ayahnya. Ayahnya yang tak mau kalah membalas perbuatan anaknya. Akhirnya, dengan penuh kegembiraan mereka saling mengotori wajah masing-masing, tanpa sadar bahwa kuenya mulai lumer dan mencair, siap menjadi ulat El Dorado yang lapar dan ingin memangsa sesuatu.....
A Gift for Teddy
Tema: Birthday
Judul: A Gift for Teddy
Panjang: One-shot, 12.369 karakter (dengan spasi)
Genre: Family?
Bahasa: Indonesia
Bentuk: Short story
Rating: All ages
Sore hari di awal bulan Juni yang cerah ini, Harry keluar dari kantornya dengan tubuh dan pikiran yang amat lelah. Yah, sangat lelah. Bagaimana tidak, ia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Shacklebolt padanya dan berhasil membuatnya kerja lembur selama 2 hari 2 malam. Dengan lesu, Harry berniat meninggalkan lingkungan tempatnya bekerja itu secepatnya, ia ingin segera pulang ke rumahnya, Grimmauld Place 12.
Harry berjalan keluar dari Kementrian dengan memperhatikan sekelilingnya. Saat ia melewati air mancur, ia melihat seorang anak laki-laki berumur sekitar 4 tahun bermain-main di dekat air mancur itu. Harry tersenyum ketika melihat rambut pirang ikal anak kecil itu basah terciprat air. Dari kejauhan seorang wanita muda berambut pirang mendekati anak itu.
“Edward, jangan berjalan-jalan sendiri kalau Mum sedang berbicara dengan orang lain,” kata wanita itu. Anak laki-laki itu menoleh kepada ibunya. Ibunya langsung menggandengnya mengajaknya pergi dari tempat itu.
Melihat anak laki-laki itu, membuat Harry teringat akan Teddy, anak baptisnya. Harry mengacak-acak rambutnya sendiri dan membuat rambutnya semakin tidak enak dilihat. Bodoh, nyaris saja ia melupakan ulang tahun Teddy yang ke-5. Teddy akan berulang tahun Sabtu nanti. Harry melihat jam tangan Muggle-nya, hadiah dari Hermione tahun lalu. Sabtu itu besok! Dan Harry belum membelikan apa-apa untuk anak baptisnya itu.
Dengan bingung akan hadiah apa yang nanti diberikannya pada Teddy, Harry ber-Apparate ke rumahnya.
Sesampainya di Grimmauld Place 12, Kreacher, peri rumahnya sudah menunggunya dengan makan malam yang lezat. Tapi Harry tidak berniat makan, ia masih bingung dengan kado untuk Teddy.
Akhirnya Harry naik ke lantai atas, dimana kamarnya berada. Ia lalu mandi, berpakaian dan turun lagi ke bawah untuk makan malam sendirian sambil memikirkan kembali kado untuk Teddy.
“Master Harry,” Kreacher membungkuk kepada Harry. Harry menoleh pada Kreacher, sambil berpikir menebak-nebak apa yang akan dibicarakan oleh Kreacher.
“Ya Kracher, ada apa?” tanya Harry tidak terlalu antusias.
“Miss Weasley tadi mencoba menghubungi Master lewat Floo, tapi ternyata Master di kamar mandi,” kata Kracher.
“Kenapa kau tidak bilang dari tadi!” seru Harry pada Kreacher. Harry segera meninggalkan makan malamnya dan bergegas ke perapian.
“Maafkan Kreacher, Master Harry, tapi kata Miss Weasley, biarkan Master makan malam dulu,” kata Kreacher yang lalu berlari-lari kecil sambil bersenandung mengikuti langkah Harry yang besar-besar ke perapian di ruang tengah.
Harry tidak menggubris peri rumahnya itu. Ia rindu Ginny. Sudah 1 minggu ia tidak bertemu tunangannya itu. Ginny baru saja pergi ke Prancis untuk mengadakan pertandingan persahabatan antara Holyhead Harpies dan klub-Prancis-entah-apa-namanya. Jujur saja, Harry sebenarnya tidak tahu kalau Ginny pulang hari ini, lagipula, seingatnya Ginny berkata baru akan pulang Senin depan.
“Kreacher, tadi Ginny bilang ia ada di mana?” tanya Harry.
“Di rumah orangtua Miss Weasley, Master,” kata Kreacher singkat. Ia tahu, Master kesayangannya sedang galau memikirkan sesuatu.
Harry segera menaburkan bubuk Floo pada perapian dan dengan segera memasukkan kepalanya ke perapian. Dalam sekejap, pemandangan di depannya berubah menjadi dapur The Burrow.
Ginny yang memang saat itu sedang duduk di meja makan sambil membaca Witch Weekly terkejut dengan kemunculan kepala Harry.
“Harry!” pekik Ginny terkejut sekaligus senang, “Kau sudah makan malam?” tanya Ginny.
“Kutinggalkan,” jawab Harry singkat, “Kenapa kau tidak memberitahu akan pulang hari ini?” tanya Harry sedikit kesal.
Ginny tersenyum melihat tunangannya itu sewot, “Sebenarnya aku pulang kemarin. Hmm, sebenarnya juga, aku ingin mengejutkanmu, tapi kata Ron, kau banyak kerjaan. Jadinya berencana mengejutkanmu saat kau pulang saja, Harry. Eh, ternyata yang muncul malah Kreacher yang memberitahuku kau sedang mandi,” jawab Ginny jenaka.
Wajah Harry yang tadinya agak kesal menjadi melunak, ia tahu kalau Ginny tidak berniat tidak mau memberitahunya atau apa, tapi hanya ingin membuatnya senang.
Segera, tanpa pikir panjang, Harry menceritakan apa yanga ada di pikirannya sejak ia pulang dari kantor. Ginny mendengarkannya dengan sabar dan penuh perhatian. Ginny pun berjanji untuk mencoba mencari kado untuk Teddy. Dengan sedikit paksaan dari Ginny, akhirnya Harry mau mengeluarkan kepalanya dari perapian dan berhenti memikirkan kado untuk Teddy. Dengan paksaan dari Ginny pula, setelah mengeluarkan kepalanya dari perapian, Harry langsung naik ke tempat tidurnya dan mencoba untuk tidur.
Di tempat tidur, Harry melepas kacamatanya. Ia memikirkan kado-kadonya untuk Teddy di tahun-tahun yang lalu. Saat Teddy berulang tahun ke 1, ia memberikan Teddy sebuah boneka Teddy Bear tak pernah lepas dari tangan Teddy hingga ia berusia 2 tahun. Dia ulang tahun Teddy yang ke 2, Harry dan Ginny mengajak Teddy ke kebun binatang Muggle dan setelah itu membelikan Teddy miniatur pertandingan Quidditch yang bisa bergerak sendiri di toko mainan yang baru saja buka di Diagon Alley. Ulang tahun Teddy yang ke-3 mungkin menjadi ulang tahun yang paling heboh karena Harry membelikan Teddy sapu mini, yang akhirnya Harry sesali karena Teddy terjatuh dari sapunya yang mengakibatkan tangan kecilnya terluka. Ulang tahun Teddy yang ke-4, Harry membelikannya seperangkat perlengkapan Quidditch mini. Harry masih ingat, Teddy sangat senang saat itu. Teddy langsung mengenakan jubah Quidditch dan perlengakapannya, melempar-lempar Quafle mini dan menarik Harry untuk bermain. Bahkan Andromeda memberitahu Harry kalau Teddy tak mau melepaskan sarung tangannnya saat mandi.
Harry tersenyum sendiri kalau mengingat tingkah laku anak baptisnya itu. Terakhir kali ia bertemu dengan Teddy itu 1 minggu yang lalu, saat ia dan Teddy mengantar Ginny ke basecamp Harpies sebelum Ginny berangkat ke Prancis. Tak lama kemudian Harry tertidur kelelahan.
Pagi harinya, Harry terbangun dengan suara uhu-uhu dari burung hantu. Ia membuka matanya, samar-samar ia melihat sesosok burung hantu berwarna cokelat di tepi tempat tidurnya. Harry meraba meja di sebelah tempat tidurnya. Ia menemukan kacamatanya dan segera memakainya. Ia sekarang bisa melihat lebih jelas lagi burung hantu yang ada di samping tempat tidurnya. Itu Jenna, burung hantu cokelat milik Ginny. Di paruh Jenna ada sepucuk surat dan beberapa potongan kertas. Dari Ginny.
Quote
Dear Harry,
Well, aku sudah memikirkan hadiah apa yang tepat untuk Teddy semalam, Harry. Dan kalau mau jujur, sampai pagi tadi aku belum menemukan hadiah yang pas untuknya. Tentu saja hadiah yang tidak berbahaya (ingat sapu itu!) dan juga tidak membuat susah orang lain (maksudku tidak membuat susah Andromeda, tentu saja).
Namun aku masih belum menemukannya, sayang, sampai dini hari tadi. Dini hari tadi, aku dibangunkan oleh surat dari Gwenog bahwa sore nanti akan ada pertandingan persahabatan dadakan dengan klub dari Denmark, yang tiba-tiba berkunjung dan menantang kami. Aku lupa nama klubnya, tapi mereka benar-benar ingin menantang kami.
Hal tersebut membuatku bersemangat! Dan tiba-tiba saja ide ini muncul di kepalaku. Bagaimana kalau hadiahnya ialah tiket VVIP pertandingan persahabatanku nanti sore? Batas usia untuk menonton pertandingan Quidditch kan 5 tahun ke atas, dan Teddy hari ini tepat berusia 5 tahun! Mengingat ia sangat tergila-gila dengan Quidditch (aku menyalahkanmu!) pasti ia akan sangat senang!
Aku langsung meminta 2 tiket VVIP pada official Harpies pagi tadi. Mungkin aku tidak bisa mengikuti pesta ulang tahun Teddy nanti, tapi nanti aku akan menemui kalian sebelum aku bertanding. Jangan lupa, bawa Teddy! Semangatku pasti akan bertambah 3 kali lipat.
Love,
Ginny
NB : Harry, kau tahu kan kalau tribun VVIP sangat tinggi. Jangan lupa membawa syal dan sweater untuk Teddy meskipun saat ini musim panas. Angin tetap kencang di sana. Aku tidak ingin Teddy terserang flu di musim panas.
Harry tertawa penuh kemenangan setelah membaca surat dari Ginny. Ia tahu kalau Ginny akan menemukan jalan keluarnya. Harry melihat 2 tiket VVIP pertandingan Harpies. Ia yakin, Teddy pasti akan senang.
Siang hari itu, Harry pergi ke rumah Andromeda untuk merayakan ulang tahun Teddy. Baru saja Harry ber-Apparate di halaman rumah Andromeda, Teddy sudah membuka pintu rumah dan berlari ke pelukan Harry. Rambutnya berubah menjadi berwarna hijau seperti mata Harry.
“Harry!” pekik Teddy kegirangan.
“Halo Teddy Bear,” kata Harry sambil mengangkat Teddy dalam gendongannya,”Kau bertambah berat saja,” canda Harry pada anak baptisnya itu.
“Aku dipaksa Nana makan yang banyak,” adu Teddy pada Harry. Nana adalah sebutan Teddy pada Andromeda.
“Ah, tidak apa-apa, biar kau bertambah kuat dan cepat besar,” kata Harry sambil membawa Teddy masuk ke dalam rumah.
“Biar bisa jadi pemain Quidditch?” tanya Teddy dengan polos.
Harry hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi pertanyaan Teddy. Ia masuk ke dalam rumah Andromeda dan mendapati beberapa orang yang sangat ia kenal disana. Tentu saja ada Andromeda, yang mengenakan celemek besar berwarna ungu dan membawa nampan berisi muffin berwarna-warni. Ada Fleur dan Victoire kecil yang sedang tidur, Ron dan Hermione yang langsung menyapanya ketika melihatnya masuk ke rumah. Molly Weasley yang membantu Andromeda di dapur, serta George yang berusaha membuat muffin ibunya menari-nari.
Harry menyapa semuanya dan bercengkrama dengan mereka sambil tetap menggendong Teddy yang tak mau lepas darinya. Ritual selanjutnya sama seperti ulang tahun Teddy di tahun-tahun sebelumnya, makan bersama. Setelah makan bersama, Fleur dan Victoire pulang terlebih dahulu, setelah itu disusul oleh George yang beralasan tokonya sudah terlalu lama ditinggalkan. Ron bermain Gobstones versus Harry dan Teddy.
“Ah, kau curang Ted, katanya mau main sendiri, tapi kenapa ajak Harry?” seru Ron, menggoda Teddy. Teddy hanya membalasnya dengan cengiran. Rambutnya berubah menjadi merah menyala seperti rambut Ron.
Tak lama kemudian, bagaimanapun Harry dan Teddy sudah berusaha agar mereka tidak kalah dari Ron, tetap saja, Ron memenangkan duel tidak seimbang itu.
“Harry, kau lupa kalau aku ulang tahun?” tanya Teddy sambil menarik-narik baju Harry. Ia heran, mengapa Harry tidak memberinya hadiah seperti biasa.
Harry geli dibuatnya, ia mencoba setenang mungkin menjawab pertanyaan Teddy, “Oh, ya, tentu saja aku ingat. Kau sudah kuberikan ucapan selamat ulang tahun, kan?”
Rambut Teddy berubah menjadi abu-abu, bibirnya manyun. Ron dan Hermione terkikik geli melihatnya meskipun tidak tahu apa rencana Harry.
Tak lama kemudian, Harry membisikkan rencananya pada Andromeda, sekaligus meminta ijin padanya agar diperbolehkan membawa Teddy. Teddy yang masih sedikit kesal, ikut saja dengan Harry yang mengajaknya jalan-jalan. Ia sedikit ngambek dan tidak mau turun dari punggung Harry. Hermione dan Ron tertawa melihat Teddy yang tetap manyun di bawa oleh Harry ke luar.
Sesampainya mereka di halaman, Harry bertanya pada Teddy, “Ted, kau mau jalan-jalan?”
Teddy tidak menjawab, tapi sepertinya Harry merasa bahwa Teddy mengangguk, yang berarti ‘iya’.
“Kau kubawa ber-Apparate, pegangan yang kuat yag!” kata Harry. Kedua tangan Teddy melingkari leher Harry. ia masih tidak mau turun dari gendongan Harry.
Dalam sekejap saja, mereka berdua sudah berada di stadion. Teddy kaget dengan tempat dimana ia berada.
“Harry?” tanya Teddy memastikan bahwa orang yang ia peluk erat-erat adalah Harry.
“Ya,” jawab Harry singkat, “Oh, Ted, bisakah kau turun sebentar? Aku tak bisa bernapas nih, dari tadi kau peluk erat sekali,” kata Harry.
Teddy melepaskan pelukannya dan turun dari gendongan Harry. Ia masih tidak mengerti kenapa Harry membawanya ke sini, ke stadion.
“Kenapa? Kau tidak suka?” tanya Harry yang melihat rambut Teddy yang berubah menjadi berwarna biru tua.
“Buat apa kita ke sini?” tanya Teddy yang masih tidak mengerti.
“Buat apa orang ke stadion selain untuk melihat pertandingan, eh,” kata Harry sambil menunjukkan tiket VVIPnya.
“Benarkah? Kita akan menonton?” tanya Teddy antusias, rambutnya sekarang berubah menjadi warna pink.
“Tentu saja,” jawab Harry singkat, yang lalu menggandeng Teddy masuk ke dalam stadion, “Mau memegang hadiah ulang tahunmu?” tanya Harry pada Teddy sambil menyerahkan tiket VVIPnya.
Teddy menyambar tiket VVIPnya dan dengan semangat menarik-narik tangan Harry. Wajahnya yang tadinya cemberut, sekarang tersenyum.
“Oh ya Ted,” kata Harry tiba-tiba, “Happy Birthday.”
Tema: Birthday
Judul: Regulus Black's Birthday (13)
Panjang: One-shot, 1867 kata
Genre: Errrr, adoh. Family? Friend. Itulah pokoknya.
Bahasa: Indonesia, Inggris dikit adalah.
Bentuk: Short story
Rating: Semua Umur
Disclaimer to:
JKR untuk Regulus Black, Sirius Black, Others Black, Severus Snape, dan James Potter
IH characters: Laverne Zeev, Kane Dietrich Pavarell, Atsuko Reiflein, Jake Locksley, Shaula Khan, Marietta Skeeter
Timeline: Marauder's Era. Tahunnya, 1974-1975. Antara itulah. Tongue
Regulus Black's Birthday
13
Pancaran sinar matahari perlahan memasuki tempat itu, kamar tidur anak laki-laki Slytherin kelas tiga. Sinar matahari tersebut menyentuh mata seorang anak kurus berambut hitam bergelombang, membuat sebuah sinar kemerahan pada pelupuk matanya. Mata Regulus Black terbuka, dan cahaya matahari tersebut sekarang sudah tidak tertahan oleh pelupuk matanya, memasuki pupil matanya dan mengantarkan sinar matahari tersebut ke retina. Anak laki-laki kurus dan cukup tampan tersebut mengernyitkan matanya, tangannya segera menutupi sepasang bola mata hitamnya untuk menahan sinar matahari tersebut yang mengganggu penglihatannya. Perlu diketahui, ini bukan sinar matahari sungguhan. Slytherin berada di ruang bawah tanah Hogwarts, dan bawah tanah―perlu dijelaskankah? Tidak ada matahari yang mampu menembus tanah, tapi semuanya berbeda di dunia sihir. Semuanya berbeda di Hogwarts.
Regulus tahu ini adalah hari baru untuknya, ia meregangkan otot-ototnya yang kaku karena ia diamkan selama delapan jam dan hanya bergerak sedikit dalam tidurnya. Sebuah suara terdengar nyaman saat ia meregangkan otot-otot kepalanya. Lalu mata Regulus terarah pada beberapa bingkisan di dekat tempat tidurnya. Setengah nyawanya berpikir, mengapa begitu banyak bingkisan? Semua nyawa belum terkumpul memenuhi tubuh Regulus Black, dan akhirnya― "Hey, it's my birthday!" Sebuah cengiran a la Black tersungging sempurna di bibir Regulus, agak sedikit kontras dengan matanya yang masih belum berkilat dingin dan nakal, karena ia masih berada dalam posisi mata 'baru bangun'. Regulus menatap beberapa temannya yang masih terlelap tanpa harus diganggu oleh iluminasi sinar matahari palsu, dan ia segera mengambil bingkisan tersebut. Membaca dulu siapakah pengirimnya. Hmmmm, orangtuanya―Orion dan Walburga Black―memberi Regulus sebuah bingkisan paling besar. Bellatrix dan Narcissa juga memberinya hadiah, nama mereka ada di kartu ucapan selamat ulang tahun. Tidak ada nama Andromeda, dan Regulus memang tidak mengharapkannya. Hadiah dari Paman Alphard, dan beberapa kerabat yang lainnya yang selalu rutin memberikan Regulus hadiah ulang tahun. Yeah. Setiap bingkisan hadiah tersebut sudah jelas siapa yang mengirimkannya.
Walaupun sebenarnya Regulus berharap ada satu bingkisan lagi. Ia tidak peduli seberapa besarnya, yang penting satu bingkisan lagi. Ia bahkan mengecek bagian bawah tempat tidurnya, berharap ada sebuah bingkisan, tetapi―Sudahlah Regulus, ia tidak akan memberikanmu hadiah ulang tahun lagi! Regulus tersenyum kecut mendengar kata-kata yang terngiang di telinganya. Regulus sekarang tertawa kecil, mentertawakan dirinya sendiri. Untuk apa ia masih mengharapkan hadiah ulang tahun darinya, dan memang, tidak akan ada hadiah ulang tahun lagi, dari kakaknya, Sirius Black.
Regulus mengambil bingkisan terbesar dari kedua orangtuanya, kertas yang membungkusnya ia lepas perlahan. Tangannya ia biarkan bergerak, sedangkan isi kepalanya ia biarkan menerawang memikirkan masa lalu. Tanpa sadar tangannya berhenti membuka bingkisan orangtuanya, ia berdiri dan kembali mengecek teman-temannya, mereka masih tertidur pulas. Regulus membuka kopernya, membongkarnya sampai di bagian paling bawah kopernya. Agak susah payah sebenarnya, tetapi ia berhasil mengeluarkan sebuah jubah kecil, dan menebarkan jubah tersebut di lantai.
"Jangan sentuh, Black!" Regulus tersentak kaget mendengar siapa yang berbicara. Jangan sentuh? Memangnya ada apa? Ia menyembunyikan jubah kecil tersebut sambil berdiri dan memasang wajah setenang mungkin, menatap siapa yang berbicara. "Jangan sentuh Miss Ravenclaw-ku! Shaula Khan milikku!" Kane Dietrich Pavarell, salah satu teman seasramanya yang berbicara, matanya masih tertutup. Regulus menatap si Asia berambut pirang tersebut, dan ternyata dia, hanya mengigau. Regulus mendengus antara geli dan kesal karena si Pavarell itu membuatnya kaget. Menggelengkan kepalanya sedikit dan duduk di samping ranjangnya, menebarkan kembali jubah tersebut, dan sekarang tangannya menelusuri jubah kecil tersebut.
Jubah Quidditch Slytherin. Dengan emblem Slytherin berantakan. Hadiah ulang tahunnya yang kelima. Seratus persen buatan Sirius. Membuat Regulus kembali ke beberapa tahun ke belakang, saat usianya masih lima tahun.
"Selamat ulang tahun Regulus!" Sirius menyerahkan sebuah bingkisan dan tersenyum riang pada Regulus. Hadiah dari kakaknyalah yang paling Regulus tunggu-tunggu.
"WHOA! Akhirnya kau memberiku hadiah juga. Aku sudah nunggu dari tadi tau," kata Regulus, senang dan mengambil hadiah tersebut dari tangan Sirius.
"Aku baru selesai membuatnya tadi. Lihat ini!" Sirius menunjukkan tangannya yang sekarang seperti tergores-gores dan luka-luka. "Aku membuatkanmu hadiah paling spesial, sampai-sampai aku tidak peduli tanganku luka-luka seperti ini. Sudah sebulan aku membuatnya. Kreacher yang mengajarkanku, dan dia memaksaku agar ia saja yang membuatnya, tapi aku marahi dia!" Sirius hanya nyengir. "Ayo buka!"
Regulus mengangguk mantap dan membuka hadiah tersebut. Sebuah kain bewarna hijau sangat tua. Senyum awal menghiasi bibir Regulus karena ia sekarang bersemangat, sebenarnya kain apa yang dipegangnya? Ditebarkan oleh Regulus kain tersebut, dan ternyata, "WHOA Sirius! Ini luar biasa! Jubah Quidditch Slytherin! Hadiah ini lebih bagus daripada hadiah dari Bella! Aku pakai yah!" Regulus memakai jubah tersebut, dan ternyata, sangat pas.
Sirius tersenyum senang melihat adiknya cocok sekali dengan jubah tersebut. "Wah, cocok sekali Regulus. Kau terlihat hebat memakainya. Kau seperti pemain Quidditch Slytherin sungguhan," Sirius senang sekali melihatnya. Ya, ia bisa melihat bayangan adiknya di masa depan, ia akan menjadi tim Quidditch Slytherin yang hebat. Mata hitam Sirius sekarang terarah pada emblem Slytherin yang dijahitnya, "Aduh, kok ularnya seperti belut hitam yah?"
Regulus menatap emblem Slytherin tersebut dan tertawa bersama kakaknya. Tapi ini luar biasa. Regulus berputar-putar selayaknya anak kecil dalam balutan jubah Quidditch itu. "Terimakasih yah Sirius! Aku janji akan merawat jubah ini baik-baik!" Regulus kecil menyunggingkan senyum tulus pada kakaknya.
"Ya, dan aku yakin Regulus. Kau akan menjadi Seeker Slytherin yang hebat! Nah, sekarang ayo kita main Quidditch!" kata Sirius menarik tangan adiknya dan mulai bermain.
Mata hitam Regulus menatap lurus jubah tersebut. Perlahan matanya seperti hangat entah karena apa.
"Jubah yang bagus―" untuk kedua kalinya Regulus tersentak kaget, dan sekarang ia menatap siapa yang berbicara. Rambut coklat dan mata dingin Laverne Zeev―keeper Quidditch Slytherin, teman seangkatannya juga―menatap jubah tersebut "... dan konyol," lanjut Laverne Zeev dingin.
Regulus segera melipat kasar jubah tersebut, dan melemparnya ke dalam kopernya, berdiri dan berbicara, "Memang konyol! Aku tadi hanya mencari sebuah barang, dan ternyata menemukan jubah konyol tersebut. Entahlah, sepertinya Kreacher yang meletakannya di sana," kebohongan biasa yang selalu dilontarkan Regulus, dan diiringi sebuah senyum dingin a la Black untuk mendukung kebohongannya. Kreacher tidak pernah meletakannya di sana, Reguluslah yang selalu membawa jubah tersebut dalam kopernya.
"Well, kulihat banyak bingkisan di samping ranjangmu, Regulus. Happy Birthday, then," sebuah suara lagi, kali ini dari Atsuko Reiflein. Regulus menoleh dan tersenyum, "Thanks!"
Jake Locksley dan Pavarell sekarang sudah terbangun dari tidur nyenyak mereka. Pavarell seperti mencari-cari sesuatu, dan sepertinya saat tatapan Pavarell bertemu dengan tatapan Regulus, Pavarell sudah menemukan apa yang ia cari. Anak laki-laki Asia tersebut menggaruk rambutnya yang berantakan karena tertidur, dan rambutnya malah semakin berantakan. "Kau―" Pavarell menatap Regulus tajam. Regulus segera tahu mengapa si Pavarell itu menatapnya seperti itu. Pasti mimpi buruk Regulus-telah-menyentuh-Shaula-Khan yang mengganggunya. Sedangkan Locksley tidak banyak bicara, ia memakai jubahnya dan pergi keluar kamar untuk sarapan.
"Sarapan?" Regulus berbicara sambil mengganti piyamanya dengan jubah Slytherinnya. Atsuko melakukan hal yang sama, Zeev yang dari tadi sudah siap, pergi meninggalkan kamar tersebut tanpa banyak bicara. Sedangkan Pavarell, sepertinya sudah menyadari kalau Regulus hanya menyentuh Shaula Khan lewat mimpi saja. Dengan sedikit canggung, ia juga ikut mengganti piyamanya dengan jubah sehari-hari. Mereka bertiga, Regulus, Atsuko Reiflein, dan Kane Dietrich Pavarell, berjalan ke bawah menuju aula besar bersama-sama.
"Kau ulang tahun, eh, Black?" ucap Pavarell. "Well, sorry karena aku menudingmu saat baru terbangun tadi. Mimpi. Sedikit. Tentang kau. Dan Miss Ravenclaw," Regulus sama sekali tidak menyangka Pavarell akan berbicara sejujurnya tentang mimpinya itu. "Never mind! Happy Birthday, Mate," dan Pavarell mengakhiri pembicaraannya dengan 'sempurna'. Regulus hanya mendengus geli dan berbelok ke aula besar.
Regulus mengambil tempat duduk di samping Severus―seniornya―yang memakan makanannya dalam kecepatan konstan dan lemah. Severus tidak banya bersuara, dan hanya melirik Regulus sedikit saat ia datang. Regulus hanya melemparkan senyum pada Severus Snape dan memakan sarapannya. Regulus juga, tanpa mengharapkan adanya interaksi dengan Severus, memakan makanannya sambil menatap sesekali ke meja Ravenclaw. Ehm, saat sarapan, tatapannya tertuju pada rambut hitam gadis India, Shaula Khan. Gadis itu sangat menarik. Eksotis. Saat menikmati pemandangannya itu, seseorang menyenggolnya dan hampir membuatnya tersedak. Si Pavarell-lah yang menyenggolnya dan berbicara tajam, "Siapa yang kau lihat?"
"Ummm," Regulus tidak mungkin menjawab Shaula Khan, karena jawaban itu akan menimbulkan permasalahan. "Marietta Skeeter," jawab Regulus mantap pada Pavarell, "Yea, diakan pacarku. Katanya ia akan memberikan kejutan ulang tahun selesai pelajaran Ramuan. Di tepi danau. Aku penasaran, apa hadiah yang akan ia berikan," sebuah kebohongan sempurna, yang tidak akan sempurna jika Regulus melewatkan bagian yang paling ia sukai saat ia berbohong, tersenyum sempurna a la Black.
"Oh. Kukira tadi kau menatap Miss Ravenclaw. Shaula Khan. Mmm, yea, hanya perkiraan. Never mind. Lanjutkan sarapanmu," kata Pavarell pada Regulus. Regulus menahan diri untuk tidak mendengus geli, membenarkan sedikit rambutnya, melanjutkan sarapannya, dan tanpa sadar matanya terarah pada meja Gryffindor, dan menatap seseorang yang tengah menatapnya tajam. Seseorang yang mirip dengannya, Sirius Black.
Regulus menghentikan sarapannya, dan ia menatap kakaknya Sirius. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik... dan Sirius mengalihkan tatapannya, memutar bola matanya bosan. Sedangkan Regulus kembali pada sarapannya dan benar-benar tidak peduli. Walaupun sebenarnya, ia sedikit peduli.
Selesai. Tidak ada sisa pada piringnya, tidak ada sisa juga pada piala minumannya. Seorang Black, selalu menghabiskan makanan, jangan sampai ada yang tersisa! Regulus berdiri perlahan, dan berbicara pada Pavarell dan juga Severus, "Aku duluan." Regulus beranjak dari tempatnya dan segera keluar dari aula besar. Dan berhenti saat ia menatap seorang pria tampan yang mirip dengannya, menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, sambil menatapnya. Sirius Black.
"Besok, pertandingan lawan Gryffindor-kan? Dua pertandingan sebelumnya―lawan Ravenclaw dan Hufflepuff―kau berhasil menangkap snitch, tetapi jangan harap kau akan menang dari James!" ucap Sirius tajam pada Regulus.
"Well," Regulus masih tetap tenang. "Aku tidak akan terlalu banyak berharap," ucap Regulus dan mulai melangkah untuk meninggalkan Sirius.
"Kau. Tiga belas tahun," ucap Sirius tenang dan masih menatap tajam Regulus. Regulus berhenti, berbalik menatap kakaknya tersebut tanpa ekspresi. Sirius masih mengingat hari ulang tahunnya.
"Tiga belas tahun," ulang Regulus dan tersenyum pada kakaknya tersebut.
"Haha," Sirius tertawa, walaupun jelas sekali itu bukan tawa tulus, sangat dipaksakan. "Kau tidak pernah berniat―" Sirius diam sebentar, dan terlihat sekali ia tengah memilih kata-kata. "―maksudku, kau tidak pernah, menyimpan jubah yang kuberikan dulukan? Sampai sekarang?"
Regulus masih menatap kakaknya tersebut, tanpa ekspresi, dan sekarang terasa sekali ada kecanggungan antara mereka berdua. Regulus tidak banyak bergerak, tetapi tatapannya berarti banyak. Sedangkan Sirius, berusaha tidak menatap Regulus, dan masih menyilangkan tangannya di depan dadanya.
"Jika aku menyimpannya―" Regulus sekarang memilih kata untuk dilontarkan, "―jangan memintaku untuk memakainya di pertandingan Quidditch besok."
Sirius menatap Regulus dan tertawa. Tertawa terbahak-bahak. Bagi Regulus, perkataannya sama sekali tidak lucu. Tetapi mau tidak mau, sebuah senyum terulas dari bibir Regulus.
"Mate, kau tertawa tanpaku! Ada apa?" James Potter muncul di depan aula besar sambil menatap sahabatnya Sirius. Senyum Regulus menghilang saat melihat sosok tersebut, James Potter. Orang yang otomatis dibencinya karena―karena telah membuat Sirius berubah.
"Hey, Black. Transfigurasi mulai sebentar lagi! Ayo cepat bersiap-siap. Kau tidak mau nilai Slytherin dikurangi karena kita terlambatkan? Ayo!" Atsuko Reiflein keluar dari aula besar dan mengisyaratkan Regulus untuk segera pergi dari tempat itu. Sedangkan Sirius, James Potter membawanya menelusuri aula depan, masih tergelak. Dan Regulus mengikuti Reiflein pergi ke arah yang berlawanan.
Dan mereka bertatapan sejenak.
Tiga belas kurang lima, delapan tahun yang lalu. Delapan tahun yang lalu, dan terlalu banyak yang berubah.
"Happy Birthday, Regulus. Semoga kau tetap menjadi Seeker yang hebat," ucap Sirius dalam hatinya. Dan ia masih tetap tergelak tanpa memberitahu James apa alasannya tertawa.
"Thanks Sirius. Karena mendoakanku menjadi Seeker yang hebat, delapan tahun yang lalu," batin Regulus dan mengikuti Atsuko Reiflein.
Tema: Birthday
Judul: Hadiah Terindah untuk Neville *)
Time: 31 Juli 1998 (ulang tahun Neville ke-18) dan 31 Juli 1988 (flashback)
Rating: General
Disclaimer: Harry Potter and its universe belongs to JKR
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Pagi yang cerah di kediaman keluarga Longbottom. Neville, neneknya, dan Kakek Algie, adik neneknya, tengah menikmati sarapan pagi bersama-sama. Hari ini tanggal 31 Juli, hari ulang tahun Neville, dan mereka bertiga sedang merayakannya. Itu sebabnya di atas meja makan penuh berisi berbagai jenis hidangan yang luar biasa lezat, lengkap dengan sebuah kue tart raksasa berhiaskan krim gula warna-warni serta delapan belas batang lilin di atasnya. Semuanya disiapkan sendiri oleh nenek Neville.
Namun ada yang sedikit berbeda tahun ini. Selain hidangan-hidangan istimewa itu, meja makan juga dipenuhi oleh tumpukan kado-kado untuk Neville, berikut kartu-kartu ucapan selamat yang jumlahnya sedemikian banyak hingga hampir mencapai langit-langit. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.
“Wah, Neville, banyak sekali yang mengirimimu tahun ini!” komentar Kakek Algie, terkagum-kagum memandang tumpukan kado yang menjulang. “Dari siapa saja, nih?”
Kakek Algie meraih kartu ucapan yang terletak di tumpukan paling atas. “Oh, ini dari Luna Lovegood,” ia membaca tulisan yang tertera di dalam kartu. “Dia temanmu di Hogwarts, kan, Neville? Yeah, aku tahu… anak yang baik, dia, ya? Selalu mengirimimu ucapan setiap tahun, tak pernah lupa… dia memberimu kado juga, nih…”
Kakek Algie meraih kartu kedua. “Nah, yang ini dari Harry Potter, Ron Weasley, Hermione Granger, Ginny Weasley… wah, tumben mereka ingat padamu, padahal sebelumnya mereka tidak pernah memperdulikanmu, kan? Dan yang ini juga…” Kakek Algie meraih kartu ketiga, “…masih dari teman-teman sekelasmu, Dean Thomas, Seamus Finnigan…”
Kakek Algie terus membaca kartu-kartu berikutnya. “…Parvati Patil, Lavender Brown, Demelza Robins, Romilda Vane, Katie Bell, Susan Bones, Hannah Abbot… wah, wah,” Kakek Algie terkekeh lebar ke arah Neville. “Teman-teman cewekmu ini semuanya… bagaimana mereka bisa tahu hari ulang tahunmu?”
Neville memaksakan diri ikut tertawa.
“Kau pasti tidak menduga semua ini, kan, Augusta?” Kakek Algie sekarang berbicara kepada nenek Neville. “Cucumu ternyata punya banyak fans berat!”
“Tentu saja aku sudah menduganya,” nenek Neville menyahut dengan angkuh. “Memang kau pikir Neville-ku ini masih seperti tujuh tahun yang lalu, Algie? Dulu kau boleh saja menganggap dia anak yang lemah dan tidak bisa apa-apa, walaupun aku sendiri tidak pernah menganggapnya begitu. Aku sendiri sejak dulu selalu menganggap dia adalah anak yang hebat, dan kata-kataku terbukti benar, kan? Coba kau lihat dia sekarang… dia telah menjadi anak muda yang gagah dan luar biasa pemberani, persis seperti ayahnya! Dan bukan main bangganya aku waktu…” dan nenek Neville pun kembali mengulangi menceritakan hal yang sama, yang sudah diceritakannya lebih dari seratus kali kepada Kakek Algie, “…menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dia berteriak lantang di hadapan Voldermort, mengayunkan pedang Gryffindor, menebas kepala si ular! Setelah semua hal luar biasa yang dia lakukan, gadis mana yang tidak mau jadi pacarnya, coba?”
“Yeah, kurasa kau benar, Augusta,” untuk keseratus kalinya pula, Kakek Algie menjawab dengan kata-kata yang sama.
Neville merasa, sudah saatnya ia mengalihkan topik pembicaraan ini.
“Itu apa?” tanyanya, menunjuk sebuah surat bersampul tebal yang tergeletak di sisi lain meja.
“Oh, itu surat dari Hogwarts,” neneknya yang menjawab. “Aku sudah membacanya sekilas tadi. Cuma berisi pemberitahuan, akibat kekacauan kurikulum yang terjadi tahun ajaran lalu, jadi semua murid diwajibkan mengulang satu tahun… yah, intinya, kau akan kembali ke Hogwarts bulan September nanti…”
“Bagus, deh,” kata Neville senang.
“Ya sudah, sekarang cepat habiskan sarapanmu,” nenek Neville berkata lagi. “Supaya kita bisa langsung berangkat. Kunjungan rutin kita yang biasa. Kau tentunya tak lupa, kan?”
Neville merasakan dasar perutnya langsung anjlok mendengar ucapan neneknya. Kunjungan rutin yang biasa. Tentu saja, ia selalu ingat…
31 Juli 1988.
Neville baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedelapan hari ini, ketika untuk pertama kalinya neneknya mengajaknya mengunjungi St Mungo. Menyusuri koridor-koridornya yang gelap dan suram, nenek Neville terus membawa cucunya mencapai lantai empat, menuju sebuah bangsal tertutup yang diperuntukkan bagi para pasien penderita cacat mantra permanen. Di salah satu tempat tidur yang terletak di ujung ruangan, nampak sepasang pasien suami istri duduk berdampingan. Wajah keduanya terlihat luar biasa pucat, seakan cahaya kehidupan telah lama meninggalkan mereka.
Saat itulah, untuk pertama kali dalam hidupnya, Neville berhadapan muka dengan kedua orang yang menyebabkan ia terlahir ke dunia ini.
“Mum?” bisik Neville. “Dad…”
Tapi mereka tidak mengenalinya. Frank Longbottom, yang duduk paling ujung, kepalanya setengah mendongak, menatap langit-langit dengan pandangan mata menerawang kosong. Istrinya, yang duduk di sampingnya, rambut panjangnya yang kusut dan kotor separuh menutupi wajahnya yang tertunduk, sementara mulutnya bersenandung pelan tanpa arti. Sama sekali tidak menyadari, bahwa saat itu, putra tunggal mereka tengah berdiri tepat di hadapan mereka. Jarak yang memisahkan Neville dengan kedua orang tuanya hanya beberapa langkah saja, namun Neville merasakan seolah-olah ada sebuah dinding kokoh tak terlihat terbentang di antara ketiganya, yang menghalanginya untuk maju selangkah lagi, untuk mendekati ayah dan ibunya, untuk menyentuh mereka, berbicara dengan mereka…. Air mata Neville meleleh.
“Jangan menangis,” nenek Neville meremas bahu Neville, menguatkannya. “Aku tahu, pasti sangat menyakitkan bagimu melihat ini, tapi sudah saatnya kau mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Dan kau tidak boleh merasa malu. Apa yang terjadi pada ayah dan ibumu bukanlah hal yang memalukan. Sebaliknya kau harus merasa bangga! Hanya sedikit sekali penyihir di dunia ini yang memiliki keberanian luar biasa seperti yang dimiliki oleh kedua orang tuamu, Neville, dan aku ingin kau merasa bangga terhadap apa yang telah mereka lakukan! Jadi hapus air matamu, Nak, dan tegakkan kepalamu.”
Sulit bagi seorang anak yang baru berusia delapan tahun untuk bisa memahami ucapan sang nenek, tapi Neville mengerti satu hal. Pada hari ini ia telah dipaksa memandang dunia melalui mata seorang dewasa, yang menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini bisa terjadi hal-hal yang begitu menyedihkan.
Hari itu adalah awalnya. Karena semenjak itu, setiap tahun, dua kali dalam setahun lebih tepatnya, yaitu pada hari Natal dan hari ulang tahun Neville, nenek Neville menetapkan kedua hari itu sebagai jadwal kunjungan mereka berdua ke St Mungo (kadang-kadang Kakek Algie ikut juga). Dan setiap menjelang hari itu tiba, Neville merasakan perutnya mulas, organ-organ tubuhnya menciut, menjerit-jerit memprotes. Setengah hatinya berharap seandainya saja ia bisa melewatkan hari ulang tahunnya dengan hanya berdiam diri di dalam rumah, tanpa harus melakukan kunjungan itu, karena ia merasa muak dan benci menyaksikan keadaan kedua orang tuanya. Namun di sisi lain, jauh di dasar lubuk hatinya yang terdalam, Neville merasakan kerinduan yang tak tertahankan untuk menemui ayah dan ibunya, sekalipun ia tahu, ia akan selalu mendapati kenyataan pahit yang sama. Kedua orang tuanya, tidak pernah bisa mengenalinya…
***
Mereka berdua telah tiba di St Mungo. Salah seorang Healer yang bertanggung jawab menangani perawatan kedua orang tua Neville, menerima Neville dan neneknya dalam ruang kerjanya.
“Ada berita baik untuk kalian,” ujar sang Healer, tersenyum ramah kepada kedua tamunya. “Kami melihat kemajuan pada Mrs Alice Longbottom. Ia nampaknya sudah mulai bisa berbicara sepatah dua patah kata. Beberapa minggu belakangan ini bahkan, ia juga mulai mengenali benda-benda yang ada di sekelilingnya…”
Neville dan neneknya saling bertukar pandang.
“Saya tahu, saya seharusnya langsung memberitahu Anda soal ini,” sang Healer mengangguk ke arah nenek Neville. “Tapi kami harus memastikannya dulu. Jadi kami melakukan serangkaian tes, beberapa ramuan penyembuh dan mantra yang intensif… dan hasilnya, saya boleh katakan, yang terbaik yang bisa kita harapkan… Yah, kalian berdua sebaiknya melihatnya sendiri. Mari, kalau begitu, kita temui mereka sekarang…” sang Healer bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruangan, diikuti oleh Neville dan neneknya.
***
“Mr dan Mrs Longbottom,” sang Healer menyapa ayah dan ibu Neville, sesampainya mereka bertiga di dalam bangsal tertutup di lantai empat itu. “Ini Neville, putra kalian, datang mengunjungi kalian, bersama ibu kalian juga…”
Kedua pasiennya sama sekali tak menunjukkan reaksi. Ayah Neville duduk melamun dengan mata menatap kosong, sementara wanita di sampingnya menundukkan kepalanya sambil bersenandung pelan. Sebuah pemandangan yang sudah tak asing lagi di mata Neville.
Sang Healer memberi isyarat kepada Neville agar maju mendekat. Neville menurutinya. Ia berjalan beberapa langkah menghampiri ibunya.
“Mrs Longbottom,” sang Healer berkata lagi dengan sabar. “Ini putramu Neville, datang mengunjungimu, lihatlah. Dan kebetulan, dia juga berulang tahun hari ini…”
Alice Longbottom berhenti bersenandung, lalu dengan amat perlahan mengangkat kepalanya. Seperti orang yang baru terbangun dari tidur, ia bangkit, menyeret kakinya satu dua langkah, tangan kanannya terulur ke arah Neville.
“Yeah, Mum,” ujar Neville yang sudah hafal betul gerakan ibunya itu. “Mum mau memberiku Drooble’s lagi?”
Tapi ibunya terus mengangkat tangannya, hingga mencapai puncak kepala Neville. Jari-jarinya yang panjang dan kurus menyusup ke sela-sela rambut Neville, membelai-belainya. Neville memejamkan matanya, merasakan sentuhan ibunya. Tangan Alice Longbottom meluncur turun, sekarang menyentuh kedua pelupuk mata Neville yang terpejam, mengusapnya dengan lembut, sebelum lalu bergerak menjelajahi wajah Neville.
Neville membuka matanya, memberanikan diri melihat ke arah ibunya. Pada saat yang bersamaan ibunya mendongakkan kepala memandangnya. Mereka berdua, ibu dan anak, saling bertatapan. Dan terjadilah keajaiban itu.
Neville mengawasi, bibir ibunya bergetar dan bergerak-gerak, kemudian, dengan tersendat-sendat, ia mengucapkannya.
“Ne… vil… le…”
“Ya Tuhan,” nenek Neville terisak dengan penuh rasa syukur. “Dia—dia mengenalimu, Neville!”
Neville tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya mengulurkan tangannya, merengkuh ibunya. Alice Longbottom kembali tak menunjukkan reaksi, tubuhnya bergeming dalam pelukan erat anaknya, tapi Neville memang tidak mengharapkan lebih dari ini. Sebutan ibunya atas namanya, yang didengar Neville untuk pertama kali dalam hidupnya, bagaikan tetesan embun sejuk yang menyusup ke sekujur tubuhnya, mengalir ke seluruh pembuluh darahnya, seketika menghapuskan semua kepedihan batinnya dalam sekejap, mendatangkan kebahagiaan luar biasa yang tak pernah dirasakan oleh Neville selama bertahun-tahun. Semua itu sudah lebih dari cukup bagi Neville.
Tak bisa ia melukiskan dengan kata-kata, betapa ia mendambakan terjadinya saat ini. Betapa ia memimpikannya, selama sepuluh tahun lebih, tak pernah putus doa ia panjatkan setiap malam, walaupun mukjizat itu tak kunjung datang. Dan Neville sudah nyaris berputus asa, nyaris berhenti berharap, namun akhirnya di hari ini, tepat di hari ulang tahunnya yang kedelapan belas, ia telah mendapatkan hadiah yang terindah.
FIN.
*) Akhirnya, saya ikutan challenge ini juga, udah telat ya? Grin tapi belum deadline kan... Baru nemu ide ceritanya siy :p ditunggu komen, kritik, dan sarannya di C & C….
Tema: Deathday
Judul: Selepas Kau Pergi
Panjang: One-shot, 6.357 karakter
Genre: Romance
Bahasa: Indonesia
Bentuk: Short story, obituari
Rating: All ages
Harry menghela nafasnya yang semakin berat sekali lagi. Di sekelilingnya terdapat seluruh keluarganya. Ginny, istrinya tercinta yang selalu cantik bahkan di umurnya yang ke 86, menangis di tepi tempat tidurnya. Anak perempuan satu-satunya, Lily, di sebelahnnya, merangkul ibunya. James dan Albus beserta keluarga mereka masing-masing di sisi lain tempat tidur. Mereka semua terlihat cemas melihat Harry yang tergolek tak berdaya di tempat tidur.
“Harry, sayang,” bisik Ginny di tangah isakannya.
Samar-samar Harry mendengar suara itu, suara yang selalu dirindukannya.
“Kau tidak boleh pergi dariku secepat itu,” kata Ginny lagi. Air mata masih mengalir dari kedua mata Ginny yang tampaknya tidak akan pernah merelakan kepergian Harry.
Menurut Healer Giatros, hidup Harry tak akan lama lagi. Berminggu-minggu dirawat di St. Mungo membuat penyakit yang diderita Harry semakin parah bukan semakin sembuh. Akhirnya, pilihan terakhir keluarga mereka ialah membawa kembali lagi ke rumah. Keinginan Harry memang selalu seperti itu, meninggalkan dunia yang telah memberikannya kebahagiaan ini dengan damai dikelilingi oleh istri, anak, dan cucu-cucunya.
“Gin..ny,” rintih Harry perlahan sambil memegang tangan Ginny, “Ma..af, a..ku tak bisa bersa..ma.mu,” susah payah Harry mengatakannya.
“Ssst, jangan berkata seperti itu, Harry,” seru Ginny ditengah isakannya, “Kau pasti sembuh.”
“Jang..ngan me..na..ngis, Gin, ter..senyum…lah,” kata Harry.
Harry tersenyum dengan susah payah, ia tak ingin istrinya bersedih, namun apa daya, ia tak kuat lagi menahan rasa sakit yang dideritanya ini.
“Waktu..ku tak la..ma, Gin, ter..senyum..lah,” kata Harry.
Harry ingin hal terakhir yang dilihatnya ialah senyuman Ginny. Senyuman yang selalu membangkitkan semangatnya di saat ia putus asa. Senyuman yang selalu membuatnya tenang dan damai, membuatnya semakin mencintai wanita yang menggenggam tangannya kini.
Dengan masih berlinangan air mata, Ginny tersenyum. Ia berfirasat bahwa itu adalah permintaan Harry yang terakhir. Ia tersenyum dengan hati yang merintih melihat nafas Harry yang semakin tersengal-sengal.
Benarlah firasat Ginny, tak lama kemudian, mata Harry yang sehijau zamrud tertutup secara perlahan-lahan, genggamannya di tangan Ginny terlepas, nafasnya yang tadi tersengal-sengal tak terdengar lagi. Ia sudah pergi meninggalkan dunia ini.
“Dad…” seru Lily. James dan Albus hanya terdiam. Mata Albus terlihat berkaca-kaca, istrinya merangkulnya sambil menangis.
“Harry, sayang, Harry…” kata Ginny. Air matanya semakin deras mengalir, ia memeluk tubuh Harry yang sudah tak bernyawa itu. “Kau tak boleh meninggalkanku, Harry,” kata Ginny.
Tapi, Harry Potter yang hebat itu telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
***
Quote
Telah Meninggalkan Kita Semua,
Harry James Potter
Grimmauld Place 12, tanggal 23 Juni 2068 pukul 16.00
Meninggalkan seorang istri, Ginevra Molly (Weasley) Potter. 3 orang anak, James Sirius Potter, Albus Severus Potter, Lily Luna Potter-Scamander, 8 orang cucu serta 1 orang cicit.
Harry James Potter, mantan Kepala Divisi Auror di Kementrian Sihir, anggota dewan kehormatan Perserikatan Sihir Dunia, merupakan salah satu penyihir terbesar di zamannya. Ia memiliki 10 penghargaan Order of Merlin kelas Pertama atas jasa-jasanya. Ia juga Sang Terpilih yang mengalahkan Lord Voldemort, Sang Pangeran Kegelapan. Banyak sekali jasanya yang sangat berarti pada dunia persihiran yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
James melipat korannya, berita itulah yang ia baca pertama kali saat membaca koran, kematian ayahnya yang menggemparkan dunia sihir. Pagi ini ayahnya akan dimakamkan, sebagai anak tertua James bertanggung jawab membereskan semua hal yang berhubungan dengan pemakaman ayahnya. Ibunya masih mengunci diri di kamar, kematian ayahnya membuatnya sangat berduka. Lily membujuknya untuk keluar, namun sepertinya itu tak mungkin berhasil. Mum akan keluar saat pemakaman akan dimulai, pikirnya. Tak lama, Albus datang menghampirinya.
“James, banyak wartawan di luar. Kita terima?” tanya Albus pada James. Mereka sudah berjaga-jaga akan hal tersebut sejak kemarin.
“Tidak, Mum masih sedih, jangan biarkan ia bertambah kalut dengan adanya wartawan,” kata James pada adiknya.
James menghela nafasnya, merasa lelah semalaman tidak dapat memejamkan mata barang semenitpun. Masih merasa tidak percaya bahwa ayahnya sudah meninggal.
***
Ginny berdiri di depan makam Harry didampingi oleh ketiga anaknya beserta menantu-menantunya. Pemakaman itu terasa sangat kabur baginya. Ia masih tidak percaya, sesosok tubuh yang ada di dalam peti yang dikubur di depannya ini adalah Harry, orang yang paling dicintainya. Ia tak dapat melepas sosok Harry dalam hidupnya.
“Loyalitas serta dedikasinya…” pidato Ted di podium dekat makam.
Ginny tidak dapat lagi mendengar pidato Ted Lupin, anak baptisnya. Tiba-tiba semua menjadi gelap.
“Mum!!!”
***
“Ginny,” bisik sebuah suara yang sangat familiar di telinganya.
Ginny membuka mata, Harry! pikirnya. Tidak mungkin, batinnya, Harry kan sudah…
Ia melihat ke sekelilingnya, putih, bersih, tak ada apa-apa.
“Gin, aku tahu apa yang akan kau katakan,” kata Harry yang sekarang berada di hadapannya, “Jangan bersedih, sayang.”
Ginny ingin berkata bahwa ia sangat kehilangan Harry, tapi ia tak bisa mengeluarkan suara. Harry kembali berbicara padanya.
“Jangan bersedih, Ginny. Aku tak ingin melihat kalian semua bersedih,” kata Harry sambil membelai rambut Ginny, “Suatu saat kita akan bertemu kembali,”
Kata-kata Harry yang terakhir diiringi dengan menghilangnnya sosok Harry dari hadapan Ginny.
***
“Mum! Al, ambilkan obat Mum di tasnya!” sahut James.
Tiba-tiba mata Ginny terbuka, ia sadar. Ia pingsan selama beberapa saat tadi. Membuat panik seluruh pelayat dan mengacaukan prosesi pemakaman yang terpaksa terhenti.
Lily yang ada di sampingnya mulai menangis. Ginny yang melihat hal tersebut menhapus air mata anak perempuannya itu.
“Jangan menangis, Lily. Ayahmu tidak ingin kita semua bersedih,” kata Ginny.
James, Albus dan Lily serta keluarganya yang lain yang mendengar hal tersebut terkejut. Bukankah selama ini yang paling terpukul akan kematian Harry ialah Ginny?
“Meskipun ia meninggalkan kita semua, tapi ia selalu ada di hati kita semua,” kata Ginny.
Ya, Ginny sekarang sadar, buat apa ia bersedih berlarut-larut. Hanya akan membuat beban orang-orang di sekitarnya. Ia yakin, meskipun Harry tak ada di sampingnya saat ini, tapi Harry akan selalu ada di hatinya, selalu. Ia percaya, suatu saat mereka akan bertemu kembali dan tak akan pernah berpisah lagi.
Happy Birthday, Fred
Tema: Birthday
Genre: Er--Family?
Rating: All Ages..
Disclaimer: Lagi-lagi punya JK Rowling smuwa Sad
Seorang pemuda berambut merah baru saja terbangun dari tidurnya yang lelap. Dia duduk sebentar di tepi tempat tidurnya, masih setengah tidur. Kemudian, dia meraih tongkatnya yang terletak di samping bantalnya, menjentikkannya ke arah jendela yang langsung terbuka.
Sinar matahari pagi menyinari kamar yang cukup kecil itu. Mata George tertuju pada kalender yang tergantung di samping jendela. Kalender itu menunjukkan tanggal satu April.
Sudah bulan April? Waktu cepat sekali berlalu, ya, Fred, batinnya dalam hati. Sudah berbulan-bulan Fred meninggal, tapi dia belum juga bisa berhenti berbicara kepada Fred dalam hatinya. Dia masih belum terbiasa dengan kematian saudara kembarnya yang begitu mendadak itu.
Di samping kalender yang bisa membalik halamannya sendiri itu, ada beberapa foto. Hampir semua foto itu dihuni oleh dua orang anak laki-laki berambut merah. Kedua anak laki-laki itu tertawa-tawa dan melambai pada George.
Di antara semua foto yang tampaknya sudah cukup lama diambil itu, ada sebuah foto yang masih baru. Fred dan George sedang nyengir lebar di depan toko mereka, Weasley Wizard Wheezes di Diagon Alley.
Setelah puas memandangi foto-foto itu, George beranjak dari tempat tidurnya, bermaksud mengganti piamanya dengan jubahnya, karena dia harus membuka toko yang tadinya diurus berdua dengan Fred. Sekarang Fred sudah meninggal, jadi George harus mengurusnya sendiri. Verity masih menjadi karyawan tokonya, dan Ron juga membantunya di toko yang semakin hari semakin ramai itu.
Sebenarnya dia ingin tidur di tokonya saja, agar lebih praktis, tidak perlu bangun pagi-pagi untuk berangkat ke London, tapi sudah cukup lama dia tidak mau tidur di sana. Bayangan Fred yang mengajaknya berdiskusi tentang produk baru mereka selalu terbayang di benaknya. Suasana di The Burrow lebih ramai, jadi dia tidak terlalu memikirkan Fred.
George berjalan ke arah lemari pakaiannya dengan lemah. Badannya masih ingin beristirahat setelah lelah mengurus barang-barang pesanan kemarin. Setelah memakai jubahnya, dia menuju ke dapur.
“Mum?” panggil George. “Mum?”
Aneh, pikir George. Biasanya jam segini Mum sudah sibuk di dapur. Masih bingung karena tidak melihat ibunya, George mengambil sepotong roti dari atas meja dan memutuskan untuk langsung pergi ke tokonya saja.
Mungkin Mum memang belum bisa menerima kematian Fred, batinnya lagi. Memang, mata Mrs Weasley selalu berkaca-kaca jika melihat George sejak kematian Fred. Mereka pun jadi jarang mengobrol karena George lebih memilih menghindari ibunya. Hatinya sakit jika melihat ibunya sedih seperti itu.
Sambil menghela napas, George ber-Apparate ke depan tokonya.
“Loh, tidak terkunci?” gumamnya bingung. George merasa sudah mengunci pintu tokonya sebelum pulang ke The Burrow kemarin sore, tapi pintu itu terbuka begitu saja ketika George memutar gagangnya.
Dia baru mau masuk ke dalam tokonya ketika mendengar suara berbisik dan suara anak perempuan terkikik di dalamnya, padahal kelihatannya toko itu kosong.
“Siapa itu?!” George membuka pintu tokonya dan mengacungkan tongkatnya.
“Happy Birthday, George,” terdengar koor yang diselingi tawa dari dalam tokonya. George tersentak kaget. Ternyata seluruh anggota keluarganya, Harry Potter, Hermione Granger, Fleur Delacour dan Lee Jordan dan beberapa mantan anggota Quidditch Gryffindor berada di dalam tokonya, dengan kue ulang tahun besar buatan Mrs Weasley yang berbentuk huruf W.
“Kenapa kalian—“ George tergagap, semua orang yang hadir dalam pesta ulang tahun George itu tertawa. “Siapa yang ulang tahun?”
Mendadak ruangan itu hening. Ginny yang membuka suaranya. “Er—hari ini tanggal 1 April, George. Kau lupa?”
Sekali lagi George tersentak. Dia sama sekali tidak ingat bahwa hari ini adalah ulang tahunnya. “Aku lupa,” katanya sambil nyengir. Sekali lagi semua yang ada di ruangan itu tertawa.
“Ayo, George, jangan cuma berdiri di sana saja! Tiup lilinnya!” kata Mr Weasley sambil menarik George dari pintu. George menurut dan meniup lilin yang berjumlah 21 batang itu. Ketika semua orang sibuk bertepuk tangan dan meminta jatah kue yang besar, George menundukkan kepalanya.
“Er—George?” panggil Percy perlahan. George tetap menunduk, tangannya mengusap matanya. Serentak, Percy dan yang lainnya ikut terdiam dan menunduk. “Georg—“
Mendadak George meledak tertawa, sekali lagi semua orang di dalam ruangan itu menoleh padanya. “April Mop,” kata George dengan senyum usil. “Kalian mengira aku terharu dengan kebaikan kalian?”
Beberapa orang mendelik kesal padanya, dan sisanya tertawa bersama George. “Oke… Potongan pertama,” kata George setelah memotong kuenya. “Untuk Fred.”
Kata-kata George membuat Mrs Weasley terharu dan mengusap matanya yang basah.
“Sisanya, ambil sendiri,” ujar George sambil memakan potongan kue pertamanya.
“George, kau bilang itu untuk Fred?” tanya Lee bingung.
“Memang untuk Fred. Tapi karena dia tidak bisa memakannya, aku saja yang mewakili,” George nyengir usil, mengambil sepotong kue lagi. “Yang ini baru untukku.”
George tidak melepas cengiran palsunya sampai pesta usai. Hatinya masih sakit jika membayangkan Fred ada di sana, tertawa-tawa bersama mereka.
Ini ulang tahun pertamanya tanpa Fred. Bagaimana dia tidak sedih?
“George,” panggil Mr Weasley.
“Ada apa, Dad?” tanya George, menyembunyikan wajah sedihnya.
“Ini,” Mr Weasley memberikan sebuah kado yang berbentuk persegi dan agak besar. “Hadiah dari ibumu dan aku. Well—kami dibantu oleh Minerva dan Filius juga, sebenarnya, jadi ini hadiah dari kami berempat.”
George memandangi kado itu dengan penasaran. “Thanks, Dad, Mum.”
“Bukalah, nak,” kata ibunya. George curiga melihat ayah dan ibunya yang tampaknya tidak sabar melihat ekspresi George.
Perlahan-lahan, George merobek kertas kado yang menyelubungi hadiah itu. Tanpa ia sadari, semua orang yang berada dalam ruangan itu sedang menontonnya membuka hadiah dari orangtuanya—dan McGonagall dan Flitwick.
“Hai, Forge,” sapa sebuah suara yang sangat George kenal. “Happy birthday.”
George menggeleng tak percaya. “Fred?”
“Yep, seingatku itu namaku,” kata lukisan Fred yang melemparkan senyum usil pada saudara kembarnya. “Kau tidak memberi selamat ulang tahun padaku? Ini ulang tahunku juga, loh!”
George tertawa sambil menahan air matanya. Ini hadiah terhebat yang ia dapat dari seluruh ulang tahunnya. “Happy birthday, Fred.”
Ultah a la Lovegood
Seorang pria paruh baya sedang sibuk berkutat di dalam suatu rumah. Rumah yang mirip sekali dengan bidak benteng dalam permainan catur, dan terlihat menjulang megah di atas bukit. Hmm, rupanya pria itu sedang merias ruangan rumahnya tersebut. Tentu saja bukan tanpa alasan dia melakukan hal itu, hari ini adalah hari ulang tahun anaknya yang ke-11 tahun. Makanya, sehari sebelumnya, anaknya tersebut sudah dititipkan ke rumah bibinya, agar anaknya tidak tahu dengan apa yang sedang dikerjakannya.
“Yak, kurasa kalau kuenya dibuat dengan tampilan seperti ini kelihatan lumayan,” kata pria tersebut mengagumi hasil kue yang dihias olehnya yang berbentuk lonjong seperti ulat sedang diam dengan berbagai hiasan, seperti: ranting suatu pohon, krim hijau pekat yang mengelilinya, serta kacang-kacangan yang tersebar hampir di setiap sudut kue itu. Eit, ternyata kue tersebut tidak diam, tadi dia sempat menggeliat sedikit. Mungkin karena terlalu banyak ditambahkan gula sehingga badannya terasa geli.
“Nah, sekarang waktunya menghias ruangan!” ujarnya sambil langsug mengibaskan tongkat sihirnya. Seketika itu juga keluarlah benda-benda dari dalam peti di dekatnya. Cangkang keong yang berkelap-kelip dia biarkan melayang di udara. Kemudian, pita hias yeng bertuliskan ‘Selamat Ulang Tahun’ yang sepertinya terbuat dari cacing pita raksasa yang dikeringkan dan diwarnai ikut dipajang di tengah-tengah ruangan itu. Lalu, saat pria tadi menjentikkan jarinya, keluarlah serombongan kumbang pesta yang langsung berkumpul terbang di atas kue tadi. Sepertinya mereka digunakan untuk orkestra yang melantunkan nada ‘Happy Birthday to You’.
“Ah, sudah hampir pukul 11 siang,” gumamnya, “aku harus bersiap-siap. Anakku bisa saja datang sewaktu-waktu..”
Dengan bergegas, dia pergi ke kamarnya dan memilih jubah terbaiknya. Keputusannya jatuh pada jubah berwarna biru muda. Menurutnya warna itu menandakan bahwa dia mendoakan agar masa depan anaknya secerah warna yang dipakainya, begitu pula otaknya. “Yap, dengan begini, aku sudah siap!”
-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-=-
WHUUUSH!!!
Tiba-tiba perapian rumah pria itu bergemuruh dahsyat, diiringi bunyi batuk pelan yang menandakan seseorang sudah masuk ke rumahnya melalui jaringan floo.
“Ayaaaah!!” panggil sang anak sambil menyerbu ke arah pria tadi untuk memeluknya.
“Selamat datang, Luna sayang… Ayo sini, ikuti Ayah!” jawab sang Ayah sambil mengajak putrinya, Luna, ke ruangan yang sudah dihias olehnya itu. “Selamat ulang tahun, Anakku!”
“Woooww!” begitulah kata pertama yang Luna keluarkan saat melihat ruangan yang menurutnya sangat menakjubkan, mata menonjolnya terlihat berkilat-kilat melihatnya. Begitu pula saat dia melihat serombongan kumbang yang berusaha melantunkan nada lagu ‘Happy Birthday to You’ itu. “Kumbang apa ini, Yah? Aku tidak pernah tahu ada kumbang yang bisa dilatih bernyanyi?”
“Wah, wah, berarti kau masih kurang membaca, nak! Ingat tidak edisi ke-278 the Quibbler tentang cara melatih kumbang-kumbang sehingga bisa menjadi kumbang pesta. Kau tinggal mengecat seluruh tubuhmu dengan warna hitam dan gunakan kacamata dari saringan teh ini, maka mereka akan mengira kau sebagai raja Kumbang.” Jelas pria itu panjang lebar. “Nah, kau berbicara kepada mereka dengan mengepitkan tanganmu diantara ketiak, dijamin mereka mengerti. Nanti usahakan dengan ketiakmu keluarkan nada yang akan diajarkan kepada mereka, mereka pasti mengikuti!”
“Sangat menarik! Aku ingin sekali mencobanya!”
“Baiklah, kuhadiahkan saja kumbang-kumbang ini agar bisa kau latih lagu lainnya. Apapun untukmu di hari yang spesial ini..”
“Trims, Yah!”
“Oh iya, sekarang saatnya kau tiup lilin, setelah itu pastinya potong kue..”
Luna tersenyum saat Ayahnya menyalakan lilin di atas kue berbentuk lonjong berwarna hijau dan bertaburan gula warna-warni.
“Sekarang silakan pikirkan doamu, lalu tiup lilinnya sampai padam,” si Ayah menjelaskan.
Anak perempuannya memejamkan mata sesaat, lalu meniup lilin kencang-kencang dan agak kaget saat kue yang ditiupnya seperti menggeliat.
“OK, selanjutnya kau potong kuenya.. Hmm, potong dalam bentuk tak beraturan ya, karena jika dipotong dalam bentuk segitiga biasa, roh-roh perusak kebahagiaan akan hinggap di atas kue. Dengan bentuk ini mereka tak akan hinggap karena tidak suka bentuknya.”
Tanpa banyak bicara si anak mengikuti perintah Ayahnya dan memotong kue tadi dengan asal.
”So, mau kau beri kepada siapa kue ulang tahun ini pertama kali?”
”Hmm, karena tidak ada orang lain di sini, jadi kuberikan pada bapak Xenophilius Lovegood alias Ayahku ini...” jawab Luna yang membuat Ayahnya memberengut. ”Aku bercanda, Yah! Aku benar-benar mencintaimu kok, bukan karena terpaksa. Hehehe...”
”Hehehe, Ayah juga tahu kok.. Hmmm... kuenya enak sekali! Ayo, kau cicipi juga kue buatan Ayah ini!” kata sang Ayah.
“Yeah, enak sekali. Kuenya sangat empuk dan kenyal-kenyal, sangat manis pula!” ucap anaknya jujur setelah mencicipi kuenya juga. “Terbuat dari apa ya kue-kue ini?”
“Bagus sekali kau bertanya. Kue ini kubuat khusus untukmu, terbuat dari ulat El Dorado raksasa yang dibekukan dan diberi kacang-kacangan, krim hijau –ingus troll yang sudah dicampur dengan susu-, serta gula-gula. Dengan memakan ini, dijamin otakmu akan semakin encer deh.”
”Wah, pantas saja tadi aku melihat kue ini sedikit menggeliat!”
”Owh, ternyata sudah agak mencair ya? Gawat sekali, kalau dia sudah benar-benar tidak beku lagi, yang ada dagingnya yang kita makan malah akan hidup di perut kita, malahan bisa-bisa dia akan menggerogoti otak kita. Untung hanya setengah beku ya...” kata pria itu diakhiri dengan tertawa. Tentu saja anaknya ikut tertawa juga, dia tak pernah habis pikir, bagaimana bisa dia memiliki Ayah yang super imajinatif dan nyentrik, serta memiliki pengetahuan luas tentang hewan-hewan sihir. Pastinya anaknya bercita-cita jadi seperti Ayahnya juga.
”Oh iya, Luna, ini kado untukmu.. Silakan dibuka!”
Luna mengambil kado yang diberikan Ayahnya, kemudian membukanya pelan-pelan. ”Wow, tongkat sihir!!”
”Tongkat sihir kayu cemara panjang 10 cm dengan inti bulu unicorn... Milik Ibumu,” ucap sang Ayah. ”Pasti akan cocok jika kau memakainya nanti di Hogwarts.”
Mata anaknya berkaca-kaca, tanpa berkata apapun dia memeluk Ayahnya.
”Ibumu pasti akan bangga, jika melihatmu menggunakan sihir dengan tongkat itu..”
”Hiks.. Terima kasih, Ayah! Aku pasti akan menggunakan tongkat ini dan akan kutunjukkan pada Ibu, aku akan menjadi penyihir hebat nantinya!”
Pria itu langsung terharu mendengar jawaban anaknya, dia memeluk lebih erat anaknya. Pelan-pelan dia melepaskan pelukannya lalu bertanya, ”Ngomong-ngomong, tadi kau meminta apa dalam doamu?”
”Err, aku harus memberitahukan doaku?”
”Tentu saja, daripada kau diburu oleh hantu penagih hutang yang akan mengejar orang-orang yang suka menyimpan rahasia.”
”Oh, iya.. Teman Ayah ’kan ada yang dikirim ke St. Mungo saking stress-nya gara-gara hantu itu mengejarnya dan selalu mengetuk kepalanya setiap hari,” jawab Luna. ”Hmm, baiklah.. Tadi aku meminta agar... err.. Nanti aku bisa menikah dengan laki-laki seperti Ayah!”
”Hahahaha... Kau ini.. Bisa saja!”
”Aku serius lho!”
”Ok, semoga doamu terkabul.. Tapi, untuk menemukan orang yang baik hati dan keren seperti Ayah ini sudah jarang lho!”
”AYAAAH!!!”
”Hahahaha...!!”
Luna yang sebal dengan candaan Ayahnya menyomot krim hijau di kuenya dan langsung dia colekkan di pipi Ayahnya. Ayahnya yang tak mau kalah membalas perbuatan anaknya. Akhirnya, dengan penuh kegembiraan mereka saling mengotori wajah masing-masing, tanpa sadar bahwa kuenya mulai lumer dan mencair, siap menjadi ulat El Dorado yang lapar dan ingin memangsa sesuatu.....
A Gift for Teddy
Tema: Birthday
Judul: A Gift for Teddy
Panjang: One-shot, 12.369 karakter (dengan spasi)
Genre: Family?
Bahasa: Indonesia
Bentuk: Short story
Rating: All ages
Sore hari di awal bulan Juni yang cerah ini, Harry keluar dari kantornya dengan tubuh dan pikiran yang amat lelah. Yah, sangat lelah. Bagaimana tidak, ia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Shacklebolt padanya dan berhasil membuatnya kerja lembur selama 2 hari 2 malam. Dengan lesu, Harry berniat meninggalkan lingkungan tempatnya bekerja itu secepatnya, ia ingin segera pulang ke rumahnya, Grimmauld Place 12.
Harry berjalan keluar dari Kementrian dengan memperhatikan sekelilingnya. Saat ia melewati air mancur, ia melihat seorang anak laki-laki berumur sekitar 4 tahun bermain-main di dekat air mancur itu. Harry tersenyum ketika melihat rambut pirang ikal anak kecil itu basah terciprat air. Dari kejauhan seorang wanita muda berambut pirang mendekati anak itu.
“Edward, jangan berjalan-jalan sendiri kalau Mum sedang berbicara dengan orang lain,” kata wanita itu. Anak laki-laki itu menoleh kepada ibunya. Ibunya langsung menggandengnya mengajaknya pergi dari tempat itu.
Melihat anak laki-laki itu, membuat Harry teringat akan Teddy, anak baptisnya. Harry mengacak-acak rambutnya sendiri dan membuat rambutnya semakin tidak enak dilihat. Bodoh, nyaris saja ia melupakan ulang tahun Teddy yang ke-5. Teddy akan berulang tahun Sabtu nanti. Harry melihat jam tangan Muggle-nya, hadiah dari Hermione tahun lalu. Sabtu itu besok! Dan Harry belum membelikan apa-apa untuk anak baptisnya itu.
Dengan bingung akan hadiah apa yang nanti diberikannya pada Teddy, Harry ber-Apparate ke rumahnya.
Sesampainya di Grimmauld Place 12, Kreacher, peri rumahnya sudah menunggunya dengan makan malam yang lezat. Tapi Harry tidak berniat makan, ia masih bingung dengan kado untuk Teddy.
Akhirnya Harry naik ke lantai atas, dimana kamarnya berada. Ia lalu mandi, berpakaian dan turun lagi ke bawah untuk makan malam sendirian sambil memikirkan kembali kado untuk Teddy.
“Master Harry,” Kreacher membungkuk kepada Harry. Harry menoleh pada Kreacher, sambil berpikir menebak-nebak apa yang akan dibicarakan oleh Kreacher.
“Ya Kracher, ada apa?” tanya Harry tidak terlalu antusias.
“Miss Weasley tadi mencoba menghubungi Master lewat Floo, tapi ternyata Master di kamar mandi,” kata Kracher.
“Kenapa kau tidak bilang dari tadi!” seru Harry pada Kreacher. Harry segera meninggalkan makan malamnya dan bergegas ke perapian.
“Maafkan Kreacher, Master Harry, tapi kata Miss Weasley, biarkan Master makan malam dulu,” kata Kreacher yang lalu berlari-lari kecil sambil bersenandung mengikuti langkah Harry yang besar-besar ke perapian di ruang tengah.
Harry tidak menggubris peri rumahnya itu. Ia rindu Ginny. Sudah 1 minggu ia tidak bertemu tunangannya itu. Ginny baru saja pergi ke Prancis untuk mengadakan pertandingan persahabatan antara Holyhead Harpies dan klub-Prancis-entah-apa-namanya. Jujur saja, Harry sebenarnya tidak tahu kalau Ginny pulang hari ini, lagipula, seingatnya Ginny berkata baru akan pulang Senin depan.
“Kreacher, tadi Ginny bilang ia ada di mana?” tanya Harry.
“Di rumah orangtua Miss Weasley, Master,” kata Kreacher singkat. Ia tahu, Master kesayangannya sedang galau memikirkan sesuatu.
Harry segera menaburkan bubuk Floo pada perapian dan dengan segera memasukkan kepalanya ke perapian. Dalam sekejap, pemandangan di depannya berubah menjadi dapur The Burrow.
Ginny yang memang saat itu sedang duduk di meja makan sambil membaca Witch Weekly terkejut dengan kemunculan kepala Harry.
“Harry!” pekik Ginny terkejut sekaligus senang, “Kau sudah makan malam?” tanya Ginny.
“Kutinggalkan,” jawab Harry singkat, “Kenapa kau tidak memberitahu akan pulang hari ini?” tanya Harry sedikit kesal.
Ginny tersenyum melihat tunangannya itu sewot, “Sebenarnya aku pulang kemarin. Hmm, sebenarnya juga, aku ingin mengejutkanmu, tapi kata Ron, kau banyak kerjaan. Jadinya berencana mengejutkanmu saat kau pulang saja, Harry. Eh, ternyata yang muncul malah Kreacher yang memberitahuku kau sedang mandi,” jawab Ginny jenaka.
Wajah Harry yang tadinya agak kesal menjadi melunak, ia tahu kalau Ginny tidak berniat tidak mau memberitahunya atau apa, tapi hanya ingin membuatnya senang.
Segera, tanpa pikir panjang, Harry menceritakan apa yanga ada di pikirannya sejak ia pulang dari kantor. Ginny mendengarkannya dengan sabar dan penuh perhatian. Ginny pun berjanji untuk mencoba mencari kado untuk Teddy. Dengan sedikit paksaan dari Ginny, akhirnya Harry mau mengeluarkan kepalanya dari perapian dan berhenti memikirkan kado untuk Teddy. Dengan paksaan dari Ginny pula, setelah mengeluarkan kepalanya dari perapian, Harry langsung naik ke tempat tidurnya dan mencoba untuk tidur.
Di tempat tidur, Harry melepas kacamatanya. Ia memikirkan kado-kadonya untuk Teddy di tahun-tahun yang lalu. Saat Teddy berulang tahun ke 1, ia memberikan Teddy sebuah boneka Teddy Bear tak pernah lepas dari tangan Teddy hingga ia berusia 2 tahun. Dia ulang tahun Teddy yang ke 2, Harry dan Ginny mengajak Teddy ke kebun binatang Muggle dan setelah itu membelikan Teddy miniatur pertandingan Quidditch yang bisa bergerak sendiri di toko mainan yang baru saja buka di Diagon Alley. Ulang tahun Teddy yang ke-3 mungkin menjadi ulang tahun yang paling heboh karena Harry membelikan Teddy sapu mini, yang akhirnya Harry sesali karena Teddy terjatuh dari sapunya yang mengakibatkan tangan kecilnya terluka. Ulang tahun Teddy yang ke-4, Harry membelikannya seperangkat perlengkapan Quidditch mini. Harry masih ingat, Teddy sangat senang saat itu. Teddy langsung mengenakan jubah Quidditch dan perlengakapannya, melempar-lempar Quafle mini dan menarik Harry untuk bermain. Bahkan Andromeda memberitahu Harry kalau Teddy tak mau melepaskan sarung tangannnya saat mandi.
Harry tersenyum sendiri kalau mengingat tingkah laku anak baptisnya itu. Terakhir kali ia bertemu dengan Teddy itu 1 minggu yang lalu, saat ia dan Teddy mengantar Ginny ke basecamp Harpies sebelum Ginny berangkat ke Prancis. Tak lama kemudian Harry tertidur kelelahan.
Pagi harinya, Harry terbangun dengan suara uhu-uhu dari burung hantu. Ia membuka matanya, samar-samar ia melihat sesosok burung hantu berwarna cokelat di tepi tempat tidurnya. Harry meraba meja di sebelah tempat tidurnya. Ia menemukan kacamatanya dan segera memakainya. Ia sekarang bisa melihat lebih jelas lagi burung hantu yang ada di samping tempat tidurnya. Itu Jenna, burung hantu cokelat milik Ginny. Di paruh Jenna ada sepucuk surat dan beberapa potongan kertas. Dari Ginny.
Quote
Dear Harry,
Well, aku sudah memikirkan hadiah apa yang tepat untuk Teddy semalam, Harry. Dan kalau mau jujur, sampai pagi tadi aku belum menemukan hadiah yang pas untuknya. Tentu saja hadiah yang tidak berbahaya (ingat sapu itu!) dan juga tidak membuat susah orang lain (maksudku tidak membuat susah Andromeda, tentu saja).
Namun aku masih belum menemukannya, sayang, sampai dini hari tadi. Dini hari tadi, aku dibangunkan oleh surat dari Gwenog bahwa sore nanti akan ada pertandingan persahabatan dadakan dengan klub dari Denmark, yang tiba-tiba berkunjung dan menantang kami. Aku lupa nama klubnya, tapi mereka benar-benar ingin menantang kami.
Hal tersebut membuatku bersemangat! Dan tiba-tiba saja ide ini muncul di kepalaku. Bagaimana kalau hadiahnya ialah tiket VVIP pertandingan persahabatanku nanti sore? Batas usia untuk menonton pertandingan Quidditch kan 5 tahun ke atas, dan Teddy hari ini tepat berusia 5 tahun! Mengingat ia sangat tergila-gila dengan Quidditch (aku menyalahkanmu!) pasti ia akan sangat senang!
Aku langsung meminta 2 tiket VVIP pada official Harpies pagi tadi. Mungkin aku tidak bisa mengikuti pesta ulang tahun Teddy nanti, tapi nanti aku akan menemui kalian sebelum aku bertanding. Jangan lupa, bawa Teddy! Semangatku pasti akan bertambah 3 kali lipat.
Love,
Ginny
NB : Harry, kau tahu kan kalau tribun VVIP sangat tinggi. Jangan lupa membawa syal dan sweater untuk Teddy meskipun saat ini musim panas. Angin tetap kencang di sana. Aku tidak ingin Teddy terserang flu di musim panas.
Harry tertawa penuh kemenangan setelah membaca surat dari Ginny. Ia tahu kalau Ginny akan menemukan jalan keluarnya. Harry melihat 2 tiket VVIP pertandingan Harpies. Ia yakin, Teddy pasti akan senang.
Siang hari itu, Harry pergi ke rumah Andromeda untuk merayakan ulang tahun Teddy. Baru saja Harry ber-Apparate di halaman rumah Andromeda, Teddy sudah membuka pintu rumah dan berlari ke pelukan Harry. Rambutnya berubah menjadi berwarna hijau seperti mata Harry.
“Harry!” pekik Teddy kegirangan.
“Halo Teddy Bear,” kata Harry sambil mengangkat Teddy dalam gendongannya,”Kau bertambah berat saja,” canda Harry pada anak baptisnya itu.
“Aku dipaksa Nana makan yang banyak,” adu Teddy pada Harry. Nana adalah sebutan Teddy pada Andromeda.
“Ah, tidak apa-apa, biar kau bertambah kuat dan cepat besar,” kata Harry sambil membawa Teddy masuk ke dalam rumah.
“Biar bisa jadi pemain Quidditch?” tanya Teddy dengan polos.
Harry hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi pertanyaan Teddy. Ia masuk ke dalam rumah Andromeda dan mendapati beberapa orang yang sangat ia kenal disana. Tentu saja ada Andromeda, yang mengenakan celemek besar berwarna ungu dan membawa nampan berisi muffin berwarna-warni. Ada Fleur dan Victoire kecil yang sedang tidur, Ron dan Hermione yang langsung menyapanya ketika melihatnya masuk ke rumah. Molly Weasley yang membantu Andromeda di dapur, serta George yang berusaha membuat muffin ibunya menari-nari.
Harry menyapa semuanya dan bercengkrama dengan mereka sambil tetap menggendong Teddy yang tak mau lepas darinya. Ritual selanjutnya sama seperti ulang tahun Teddy di tahun-tahun sebelumnya, makan bersama. Setelah makan bersama, Fleur dan Victoire pulang terlebih dahulu, setelah itu disusul oleh George yang beralasan tokonya sudah terlalu lama ditinggalkan. Ron bermain Gobstones versus Harry dan Teddy.
“Ah, kau curang Ted, katanya mau main sendiri, tapi kenapa ajak Harry?” seru Ron, menggoda Teddy. Teddy hanya membalasnya dengan cengiran. Rambutnya berubah menjadi merah menyala seperti rambut Ron.
Tak lama kemudian, bagaimanapun Harry dan Teddy sudah berusaha agar mereka tidak kalah dari Ron, tetap saja, Ron memenangkan duel tidak seimbang itu.
“Harry, kau lupa kalau aku ulang tahun?” tanya Teddy sambil menarik-narik baju Harry. Ia heran, mengapa Harry tidak memberinya hadiah seperti biasa.
Harry geli dibuatnya, ia mencoba setenang mungkin menjawab pertanyaan Teddy, “Oh, ya, tentu saja aku ingat. Kau sudah kuberikan ucapan selamat ulang tahun, kan?”
Rambut Teddy berubah menjadi abu-abu, bibirnya manyun. Ron dan Hermione terkikik geli melihatnya meskipun tidak tahu apa rencana Harry.
Tak lama kemudian, Harry membisikkan rencananya pada Andromeda, sekaligus meminta ijin padanya agar diperbolehkan membawa Teddy. Teddy yang masih sedikit kesal, ikut saja dengan Harry yang mengajaknya jalan-jalan. Ia sedikit ngambek dan tidak mau turun dari punggung Harry. Hermione dan Ron tertawa melihat Teddy yang tetap manyun di bawa oleh Harry ke luar.
Sesampainya mereka di halaman, Harry bertanya pada Teddy, “Ted, kau mau jalan-jalan?”
Teddy tidak menjawab, tapi sepertinya Harry merasa bahwa Teddy mengangguk, yang berarti ‘iya’.
“Kau kubawa ber-Apparate, pegangan yang kuat yag!” kata Harry. Kedua tangan Teddy melingkari leher Harry. ia masih tidak mau turun dari gendongan Harry.
Dalam sekejap saja, mereka berdua sudah berada di stadion. Teddy kaget dengan tempat dimana ia berada.
“Harry?” tanya Teddy memastikan bahwa orang yang ia peluk erat-erat adalah Harry.
“Ya,” jawab Harry singkat, “Oh, Ted, bisakah kau turun sebentar? Aku tak bisa bernapas nih, dari tadi kau peluk erat sekali,” kata Harry.
Teddy melepaskan pelukannya dan turun dari gendongan Harry. Ia masih tidak mengerti kenapa Harry membawanya ke sini, ke stadion.
“Kenapa? Kau tidak suka?” tanya Harry yang melihat rambut Teddy yang berubah menjadi berwarna biru tua.
“Buat apa kita ke sini?” tanya Teddy yang masih tidak mengerti.
“Buat apa orang ke stadion selain untuk melihat pertandingan, eh,” kata Harry sambil menunjukkan tiket VVIPnya.
“Benarkah? Kita akan menonton?” tanya Teddy antusias, rambutnya sekarang berubah menjadi warna pink.
“Tentu saja,” jawab Harry singkat, yang lalu menggandeng Teddy masuk ke dalam stadion, “Mau memegang hadiah ulang tahunmu?” tanya Harry pada Teddy sambil menyerahkan tiket VVIPnya.
Teddy menyambar tiket VVIPnya dan dengan semangat menarik-narik tangan Harry. Wajahnya yang tadinya cemberut, sekarang tersenyum.
“Oh ya Ted,” kata Harry tiba-tiba, “Happy Birthday.”
Tema: Birthday
Judul: Regulus Black's Birthday (13)
Panjang: One-shot, 1867 kata
Genre: Errrr, adoh. Family? Friend. Itulah pokoknya.
Bahasa: Indonesia, Inggris dikit adalah.
Bentuk: Short story
Rating: Semua Umur
Disclaimer to:
JKR untuk Regulus Black, Sirius Black, Others Black, Severus Snape, dan James Potter
IH characters: Laverne Zeev, Kane Dietrich Pavarell, Atsuko Reiflein, Jake Locksley, Shaula Khan, Marietta Skeeter
Timeline: Marauder's Era. Tahunnya, 1974-1975. Antara itulah. Tongue
Regulus Black's Birthday
13
Pancaran sinar matahari perlahan memasuki tempat itu, kamar tidur anak laki-laki Slytherin kelas tiga. Sinar matahari tersebut menyentuh mata seorang anak kurus berambut hitam bergelombang, membuat sebuah sinar kemerahan pada pelupuk matanya. Mata Regulus Black terbuka, dan cahaya matahari tersebut sekarang sudah tidak tertahan oleh pelupuk matanya, memasuki pupil matanya dan mengantarkan sinar matahari tersebut ke retina. Anak laki-laki kurus dan cukup tampan tersebut mengernyitkan matanya, tangannya segera menutupi sepasang bola mata hitamnya untuk menahan sinar matahari tersebut yang mengganggu penglihatannya. Perlu diketahui, ini bukan sinar matahari sungguhan. Slytherin berada di ruang bawah tanah Hogwarts, dan bawah tanah―perlu dijelaskankah? Tidak ada matahari yang mampu menembus tanah, tapi semuanya berbeda di dunia sihir. Semuanya berbeda di Hogwarts.
Regulus tahu ini adalah hari baru untuknya, ia meregangkan otot-ototnya yang kaku karena ia diamkan selama delapan jam dan hanya bergerak sedikit dalam tidurnya. Sebuah suara terdengar nyaman saat ia meregangkan otot-otot kepalanya. Lalu mata Regulus terarah pada beberapa bingkisan di dekat tempat tidurnya. Setengah nyawanya berpikir, mengapa begitu banyak bingkisan? Semua nyawa belum terkumpul memenuhi tubuh Regulus Black, dan akhirnya― "Hey, it's my birthday!" Sebuah cengiran a la Black tersungging sempurna di bibir Regulus, agak sedikit kontras dengan matanya yang masih belum berkilat dingin dan nakal, karena ia masih berada dalam posisi mata 'baru bangun'. Regulus menatap beberapa temannya yang masih terlelap tanpa harus diganggu oleh iluminasi sinar matahari palsu, dan ia segera mengambil bingkisan tersebut. Membaca dulu siapakah pengirimnya. Hmmmm, orangtuanya―Orion dan Walburga Black―memberi Regulus sebuah bingkisan paling besar. Bellatrix dan Narcissa juga memberinya hadiah, nama mereka ada di kartu ucapan selamat ulang tahun. Tidak ada nama Andromeda, dan Regulus memang tidak mengharapkannya. Hadiah dari Paman Alphard, dan beberapa kerabat yang lainnya yang selalu rutin memberikan Regulus hadiah ulang tahun. Yeah. Setiap bingkisan hadiah tersebut sudah jelas siapa yang mengirimkannya.
Walaupun sebenarnya Regulus berharap ada satu bingkisan lagi. Ia tidak peduli seberapa besarnya, yang penting satu bingkisan lagi. Ia bahkan mengecek bagian bawah tempat tidurnya, berharap ada sebuah bingkisan, tetapi―Sudahlah Regulus, ia tidak akan memberikanmu hadiah ulang tahun lagi! Regulus tersenyum kecut mendengar kata-kata yang terngiang di telinganya. Regulus sekarang tertawa kecil, mentertawakan dirinya sendiri. Untuk apa ia masih mengharapkan hadiah ulang tahun darinya, dan memang, tidak akan ada hadiah ulang tahun lagi, dari kakaknya, Sirius Black.
Regulus mengambil bingkisan terbesar dari kedua orangtuanya, kertas yang membungkusnya ia lepas perlahan. Tangannya ia biarkan bergerak, sedangkan isi kepalanya ia biarkan menerawang memikirkan masa lalu. Tanpa sadar tangannya berhenti membuka bingkisan orangtuanya, ia berdiri dan kembali mengecek teman-temannya, mereka masih tertidur pulas. Regulus membuka kopernya, membongkarnya sampai di bagian paling bawah kopernya. Agak susah payah sebenarnya, tetapi ia berhasil mengeluarkan sebuah jubah kecil, dan menebarkan jubah tersebut di lantai.
"Jangan sentuh, Black!" Regulus tersentak kaget mendengar siapa yang berbicara. Jangan sentuh? Memangnya ada apa? Ia menyembunyikan jubah kecil tersebut sambil berdiri dan memasang wajah setenang mungkin, menatap siapa yang berbicara. "Jangan sentuh Miss Ravenclaw-ku! Shaula Khan milikku!" Kane Dietrich Pavarell, salah satu teman seasramanya yang berbicara, matanya masih tertutup. Regulus menatap si Asia berambut pirang tersebut, dan ternyata dia, hanya mengigau. Regulus mendengus antara geli dan kesal karena si Pavarell itu membuatnya kaget. Menggelengkan kepalanya sedikit dan duduk di samping ranjangnya, menebarkan kembali jubah tersebut, dan sekarang tangannya menelusuri jubah kecil tersebut.
Jubah Quidditch Slytherin. Dengan emblem Slytherin berantakan. Hadiah ulang tahunnya yang kelima. Seratus persen buatan Sirius. Membuat Regulus kembali ke beberapa tahun ke belakang, saat usianya masih lima tahun.
"Selamat ulang tahun Regulus!" Sirius menyerahkan sebuah bingkisan dan tersenyum riang pada Regulus. Hadiah dari kakaknyalah yang paling Regulus tunggu-tunggu.
"WHOA! Akhirnya kau memberiku hadiah juga. Aku sudah nunggu dari tadi tau," kata Regulus, senang dan mengambil hadiah tersebut dari tangan Sirius.
"Aku baru selesai membuatnya tadi. Lihat ini!" Sirius menunjukkan tangannya yang sekarang seperti tergores-gores dan luka-luka. "Aku membuatkanmu hadiah paling spesial, sampai-sampai aku tidak peduli tanganku luka-luka seperti ini. Sudah sebulan aku membuatnya. Kreacher yang mengajarkanku, dan dia memaksaku agar ia saja yang membuatnya, tapi aku marahi dia!" Sirius hanya nyengir. "Ayo buka!"
Regulus mengangguk mantap dan membuka hadiah tersebut. Sebuah kain bewarna hijau sangat tua. Senyum awal menghiasi bibir Regulus karena ia sekarang bersemangat, sebenarnya kain apa yang dipegangnya? Ditebarkan oleh Regulus kain tersebut, dan ternyata, "WHOA Sirius! Ini luar biasa! Jubah Quidditch Slytherin! Hadiah ini lebih bagus daripada hadiah dari Bella! Aku pakai yah!" Regulus memakai jubah tersebut, dan ternyata, sangat pas.
Sirius tersenyum senang melihat adiknya cocok sekali dengan jubah tersebut. "Wah, cocok sekali Regulus. Kau terlihat hebat memakainya. Kau seperti pemain Quidditch Slytherin sungguhan," Sirius senang sekali melihatnya. Ya, ia bisa melihat bayangan adiknya di masa depan, ia akan menjadi tim Quidditch Slytherin yang hebat. Mata hitam Sirius sekarang terarah pada emblem Slytherin yang dijahitnya, "Aduh, kok ularnya seperti belut hitam yah?"
Regulus menatap emblem Slytherin tersebut dan tertawa bersama kakaknya. Tapi ini luar biasa. Regulus berputar-putar selayaknya anak kecil dalam balutan jubah Quidditch itu. "Terimakasih yah Sirius! Aku janji akan merawat jubah ini baik-baik!" Regulus kecil menyunggingkan senyum tulus pada kakaknya.
"Ya, dan aku yakin Regulus. Kau akan menjadi Seeker Slytherin yang hebat! Nah, sekarang ayo kita main Quidditch!" kata Sirius menarik tangan adiknya dan mulai bermain.
Mata hitam Regulus menatap lurus jubah tersebut. Perlahan matanya seperti hangat entah karena apa.
"Jubah yang bagus―" untuk kedua kalinya Regulus tersentak kaget, dan sekarang ia menatap siapa yang berbicara. Rambut coklat dan mata dingin Laverne Zeev―keeper Quidditch Slytherin, teman seangkatannya juga―menatap jubah tersebut "... dan konyol," lanjut Laverne Zeev dingin.
Regulus segera melipat kasar jubah tersebut, dan melemparnya ke dalam kopernya, berdiri dan berbicara, "Memang konyol! Aku tadi hanya mencari sebuah barang, dan ternyata menemukan jubah konyol tersebut. Entahlah, sepertinya Kreacher yang meletakannya di sana," kebohongan biasa yang selalu dilontarkan Regulus, dan diiringi sebuah senyum dingin a la Black untuk mendukung kebohongannya. Kreacher tidak pernah meletakannya di sana, Reguluslah yang selalu membawa jubah tersebut dalam kopernya.
"Well, kulihat banyak bingkisan di samping ranjangmu, Regulus. Happy Birthday, then," sebuah suara lagi, kali ini dari Atsuko Reiflein. Regulus menoleh dan tersenyum, "Thanks!"
Jake Locksley dan Pavarell sekarang sudah terbangun dari tidur nyenyak mereka. Pavarell seperti mencari-cari sesuatu, dan sepertinya saat tatapan Pavarell bertemu dengan tatapan Regulus, Pavarell sudah menemukan apa yang ia cari. Anak laki-laki Asia tersebut menggaruk rambutnya yang berantakan karena tertidur, dan rambutnya malah semakin berantakan. "Kau―" Pavarell menatap Regulus tajam. Regulus segera tahu mengapa si Pavarell itu menatapnya seperti itu. Pasti mimpi buruk Regulus-telah-menyentuh-Shaula-Khan yang mengganggunya. Sedangkan Locksley tidak banyak bicara, ia memakai jubahnya dan pergi keluar kamar untuk sarapan.
"Sarapan?" Regulus berbicara sambil mengganti piyamanya dengan jubah Slytherinnya. Atsuko melakukan hal yang sama, Zeev yang dari tadi sudah siap, pergi meninggalkan kamar tersebut tanpa banyak bicara. Sedangkan Pavarell, sepertinya sudah menyadari kalau Regulus hanya menyentuh Shaula Khan lewat mimpi saja. Dengan sedikit canggung, ia juga ikut mengganti piyamanya dengan jubah sehari-hari. Mereka bertiga, Regulus, Atsuko Reiflein, dan Kane Dietrich Pavarell, berjalan ke bawah menuju aula besar bersama-sama.
"Kau ulang tahun, eh, Black?" ucap Pavarell. "Well, sorry karena aku menudingmu saat baru terbangun tadi. Mimpi. Sedikit. Tentang kau. Dan Miss Ravenclaw," Regulus sama sekali tidak menyangka Pavarell akan berbicara sejujurnya tentang mimpinya itu. "Never mind! Happy Birthday, Mate," dan Pavarell mengakhiri pembicaraannya dengan 'sempurna'. Regulus hanya mendengus geli dan berbelok ke aula besar.
Regulus mengambil tempat duduk di samping Severus―seniornya―yang memakan makanannya dalam kecepatan konstan dan lemah. Severus tidak banya bersuara, dan hanya melirik Regulus sedikit saat ia datang. Regulus hanya melemparkan senyum pada Severus Snape dan memakan sarapannya. Regulus juga, tanpa mengharapkan adanya interaksi dengan Severus, memakan makanannya sambil menatap sesekali ke meja Ravenclaw. Ehm, saat sarapan, tatapannya tertuju pada rambut hitam gadis India, Shaula Khan. Gadis itu sangat menarik. Eksotis. Saat menikmati pemandangannya itu, seseorang menyenggolnya dan hampir membuatnya tersedak. Si Pavarell-lah yang menyenggolnya dan berbicara tajam, "Siapa yang kau lihat?"
"Ummm," Regulus tidak mungkin menjawab Shaula Khan, karena jawaban itu akan menimbulkan permasalahan. "Marietta Skeeter," jawab Regulus mantap pada Pavarell, "Yea, diakan pacarku. Katanya ia akan memberikan kejutan ulang tahun selesai pelajaran Ramuan. Di tepi danau. Aku penasaran, apa hadiah yang akan ia berikan," sebuah kebohongan sempurna, yang tidak akan sempurna jika Regulus melewatkan bagian yang paling ia sukai saat ia berbohong, tersenyum sempurna a la Black.
"Oh. Kukira tadi kau menatap Miss Ravenclaw. Shaula Khan. Mmm, yea, hanya perkiraan. Never mind. Lanjutkan sarapanmu," kata Pavarell pada Regulus. Regulus menahan diri untuk tidak mendengus geli, membenarkan sedikit rambutnya, melanjutkan sarapannya, dan tanpa sadar matanya terarah pada meja Gryffindor, dan menatap seseorang yang tengah menatapnya tajam. Seseorang yang mirip dengannya, Sirius Black.
Regulus menghentikan sarapannya, dan ia menatap kakaknya Sirius. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik... dan Sirius mengalihkan tatapannya, memutar bola matanya bosan. Sedangkan Regulus kembali pada sarapannya dan benar-benar tidak peduli. Walaupun sebenarnya, ia sedikit peduli.
Selesai. Tidak ada sisa pada piringnya, tidak ada sisa juga pada piala minumannya. Seorang Black, selalu menghabiskan makanan, jangan sampai ada yang tersisa! Regulus berdiri perlahan, dan berbicara pada Pavarell dan juga Severus, "Aku duluan." Regulus beranjak dari tempatnya dan segera keluar dari aula besar. Dan berhenti saat ia menatap seorang pria tampan yang mirip dengannya, menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, sambil menatapnya. Sirius Black.
"Besok, pertandingan lawan Gryffindor-kan? Dua pertandingan sebelumnya―lawan Ravenclaw dan Hufflepuff―kau berhasil menangkap snitch, tetapi jangan harap kau akan menang dari James!" ucap Sirius tajam pada Regulus.
"Well," Regulus masih tetap tenang. "Aku tidak akan terlalu banyak berharap," ucap Regulus dan mulai melangkah untuk meninggalkan Sirius.
"Kau. Tiga belas tahun," ucap Sirius tenang dan masih menatap tajam Regulus. Regulus berhenti, berbalik menatap kakaknya tersebut tanpa ekspresi. Sirius masih mengingat hari ulang tahunnya.
"Tiga belas tahun," ulang Regulus dan tersenyum pada kakaknya tersebut.
"Haha," Sirius tertawa, walaupun jelas sekali itu bukan tawa tulus, sangat dipaksakan. "Kau tidak pernah berniat―" Sirius diam sebentar, dan terlihat sekali ia tengah memilih kata-kata. "―maksudku, kau tidak pernah, menyimpan jubah yang kuberikan dulukan? Sampai sekarang?"
Regulus masih menatap kakaknya tersebut, tanpa ekspresi, dan sekarang terasa sekali ada kecanggungan antara mereka berdua. Regulus tidak banyak bergerak, tetapi tatapannya berarti banyak. Sedangkan Sirius, berusaha tidak menatap Regulus, dan masih menyilangkan tangannya di depan dadanya.
"Jika aku menyimpannya―" Regulus sekarang memilih kata untuk dilontarkan, "―jangan memintaku untuk memakainya di pertandingan Quidditch besok."
Sirius menatap Regulus dan tertawa. Tertawa terbahak-bahak. Bagi Regulus, perkataannya sama sekali tidak lucu. Tetapi mau tidak mau, sebuah senyum terulas dari bibir Regulus.
"Mate, kau tertawa tanpaku! Ada apa?" James Potter muncul di depan aula besar sambil menatap sahabatnya Sirius. Senyum Regulus menghilang saat melihat sosok tersebut, James Potter. Orang yang otomatis dibencinya karena―karena telah membuat Sirius berubah.
"Hey, Black. Transfigurasi mulai sebentar lagi! Ayo cepat bersiap-siap. Kau tidak mau nilai Slytherin dikurangi karena kita terlambatkan? Ayo!" Atsuko Reiflein keluar dari aula besar dan mengisyaratkan Regulus untuk segera pergi dari tempat itu. Sedangkan Sirius, James Potter membawanya menelusuri aula depan, masih tergelak. Dan Regulus mengikuti Reiflein pergi ke arah yang berlawanan.
Dan mereka bertatapan sejenak.
Tiga belas kurang lima, delapan tahun yang lalu. Delapan tahun yang lalu, dan terlalu banyak yang berubah.
"Happy Birthday, Regulus. Semoga kau tetap menjadi Seeker yang hebat," ucap Sirius dalam hatinya. Dan ia masih tetap tergelak tanpa memberitahu James apa alasannya tertawa.
"Thanks Sirius. Karena mendoakanku menjadi Seeker yang hebat, delapan tahun yang lalu," batin Regulus dan mengikuti Atsuko Reiflein.
Tema: Birthday
Judul: Hadiah Terindah untuk Neville *)
Time: 31 Juli 1998 (ulang tahun Neville ke-18) dan 31 Juli 1988 (flashback)
Rating: General
Disclaimer: Harry Potter and its universe belongs to JKR
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Pagi yang cerah di kediaman keluarga Longbottom. Neville, neneknya, dan Kakek Algie, adik neneknya, tengah menikmati sarapan pagi bersama-sama. Hari ini tanggal 31 Juli, hari ulang tahun Neville, dan mereka bertiga sedang merayakannya. Itu sebabnya di atas meja makan penuh berisi berbagai jenis hidangan yang luar biasa lezat, lengkap dengan sebuah kue tart raksasa berhiaskan krim gula warna-warni serta delapan belas batang lilin di atasnya. Semuanya disiapkan sendiri oleh nenek Neville.
Namun ada yang sedikit berbeda tahun ini. Selain hidangan-hidangan istimewa itu, meja makan juga dipenuhi oleh tumpukan kado-kado untuk Neville, berikut kartu-kartu ucapan selamat yang jumlahnya sedemikian banyak hingga hampir mencapai langit-langit. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.
“Wah, Neville, banyak sekali yang mengirimimu tahun ini!” komentar Kakek Algie, terkagum-kagum memandang tumpukan kado yang menjulang. “Dari siapa saja, nih?”
Kakek Algie meraih kartu ucapan yang terletak di tumpukan paling atas. “Oh, ini dari Luna Lovegood,” ia membaca tulisan yang tertera di dalam kartu. “Dia temanmu di Hogwarts, kan, Neville? Yeah, aku tahu… anak yang baik, dia, ya? Selalu mengirimimu ucapan setiap tahun, tak pernah lupa… dia memberimu kado juga, nih…”
Kakek Algie meraih kartu kedua. “Nah, yang ini dari Harry Potter, Ron Weasley, Hermione Granger, Ginny Weasley… wah, tumben mereka ingat padamu, padahal sebelumnya mereka tidak pernah memperdulikanmu, kan? Dan yang ini juga…” Kakek Algie meraih kartu ketiga, “…masih dari teman-teman sekelasmu, Dean Thomas, Seamus Finnigan…”
Kakek Algie terus membaca kartu-kartu berikutnya. “…Parvati Patil, Lavender Brown, Demelza Robins, Romilda Vane, Katie Bell, Susan Bones, Hannah Abbot… wah, wah,” Kakek Algie terkekeh lebar ke arah Neville. “Teman-teman cewekmu ini semuanya… bagaimana mereka bisa tahu hari ulang tahunmu?”
Neville memaksakan diri ikut tertawa.
“Kau pasti tidak menduga semua ini, kan, Augusta?” Kakek Algie sekarang berbicara kepada nenek Neville. “Cucumu ternyata punya banyak fans berat!”
“Tentu saja aku sudah menduganya,” nenek Neville menyahut dengan angkuh. “Memang kau pikir Neville-ku ini masih seperti tujuh tahun yang lalu, Algie? Dulu kau boleh saja menganggap dia anak yang lemah dan tidak bisa apa-apa, walaupun aku sendiri tidak pernah menganggapnya begitu. Aku sendiri sejak dulu selalu menganggap dia adalah anak yang hebat, dan kata-kataku terbukti benar, kan? Coba kau lihat dia sekarang… dia telah menjadi anak muda yang gagah dan luar biasa pemberani, persis seperti ayahnya! Dan bukan main bangganya aku waktu…” dan nenek Neville pun kembali mengulangi menceritakan hal yang sama, yang sudah diceritakannya lebih dari seratus kali kepada Kakek Algie, “…menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, dia berteriak lantang di hadapan Voldermort, mengayunkan pedang Gryffindor, menebas kepala si ular! Setelah semua hal luar biasa yang dia lakukan, gadis mana yang tidak mau jadi pacarnya, coba?”
“Yeah, kurasa kau benar, Augusta,” untuk keseratus kalinya pula, Kakek Algie menjawab dengan kata-kata yang sama.
Neville merasa, sudah saatnya ia mengalihkan topik pembicaraan ini.
“Itu apa?” tanyanya, menunjuk sebuah surat bersampul tebal yang tergeletak di sisi lain meja.
“Oh, itu surat dari Hogwarts,” neneknya yang menjawab. “Aku sudah membacanya sekilas tadi. Cuma berisi pemberitahuan, akibat kekacauan kurikulum yang terjadi tahun ajaran lalu, jadi semua murid diwajibkan mengulang satu tahun… yah, intinya, kau akan kembali ke Hogwarts bulan September nanti…”
“Bagus, deh,” kata Neville senang.
“Ya sudah, sekarang cepat habiskan sarapanmu,” nenek Neville berkata lagi. “Supaya kita bisa langsung berangkat. Kunjungan rutin kita yang biasa. Kau tentunya tak lupa, kan?”
Neville merasakan dasar perutnya langsung anjlok mendengar ucapan neneknya. Kunjungan rutin yang biasa. Tentu saja, ia selalu ingat…
31 Juli 1988.
Neville baru saja merayakan ulang tahunnya yang kedelapan hari ini, ketika untuk pertama kalinya neneknya mengajaknya mengunjungi St Mungo. Menyusuri koridor-koridornya yang gelap dan suram, nenek Neville terus membawa cucunya mencapai lantai empat, menuju sebuah bangsal tertutup yang diperuntukkan bagi para pasien penderita cacat mantra permanen. Di salah satu tempat tidur yang terletak di ujung ruangan, nampak sepasang pasien suami istri duduk berdampingan. Wajah keduanya terlihat luar biasa pucat, seakan cahaya kehidupan telah lama meninggalkan mereka.
Saat itulah, untuk pertama kali dalam hidupnya, Neville berhadapan muka dengan kedua orang yang menyebabkan ia terlahir ke dunia ini.
“Mum?” bisik Neville. “Dad…”
Tapi mereka tidak mengenalinya. Frank Longbottom, yang duduk paling ujung, kepalanya setengah mendongak, menatap langit-langit dengan pandangan mata menerawang kosong. Istrinya, yang duduk di sampingnya, rambut panjangnya yang kusut dan kotor separuh menutupi wajahnya yang tertunduk, sementara mulutnya bersenandung pelan tanpa arti. Sama sekali tidak menyadari, bahwa saat itu, putra tunggal mereka tengah berdiri tepat di hadapan mereka. Jarak yang memisahkan Neville dengan kedua orang tuanya hanya beberapa langkah saja, namun Neville merasakan seolah-olah ada sebuah dinding kokoh tak terlihat terbentang di antara ketiganya, yang menghalanginya untuk maju selangkah lagi, untuk mendekati ayah dan ibunya, untuk menyentuh mereka, berbicara dengan mereka…. Air mata Neville meleleh.
“Jangan menangis,” nenek Neville meremas bahu Neville, menguatkannya. “Aku tahu, pasti sangat menyakitkan bagimu melihat ini, tapi sudah saatnya kau mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Dan kau tidak boleh merasa malu. Apa yang terjadi pada ayah dan ibumu bukanlah hal yang memalukan. Sebaliknya kau harus merasa bangga! Hanya sedikit sekali penyihir di dunia ini yang memiliki keberanian luar biasa seperti yang dimiliki oleh kedua orang tuamu, Neville, dan aku ingin kau merasa bangga terhadap apa yang telah mereka lakukan! Jadi hapus air matamu, Nak, dan tegakkan kepalamu.”
Sulit bagi seorang anak yang baru berusia delapan tahun untuk bisa memahami ucapan sang nenek, tapi Neville mengerti satu hal. Pada hari ini ia telah dipaksa memandang dunia melalui mata seorang dewasa, yang menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini bisa terjadi hal-hal yang begitu menyedihkan.
Hari itu adalah awalnya. Karena semenjak itu, setiap tahun, dua kali dalam setahun lebih tepatnya, yaitu pada hari Natal dan hari ulang tahun Neville, nenek Neville menetapkan kedua hari itu sebagai jadwal kunjungan mereka berdua ke St Mungo (kadang-kadang Kakek Algie ikut juga). Dan setiap menjelang hari itu tiba, Neville merasakan perutnya mulas, organ-organ tubuhnya menciut, menjerit-jerit memprotes. Setengah hatinya berharap seandainya saja ia bisa melewatkan hari ulang tahunnya dengan hanya berdiam diri di dalam rumah, tanpa harus melakukan kunjungan itu, karena ia merasa muak dan benci menyaksikan keadaan kedua orang tuanya. Namun di sisi lain, jauh di dasar lubuk hatinya yang terdalam, Neville merasakan kerinduan yang tak tertahankan untuk menemui ayah dan ibunya, sekalipun ia tahu, ia akan selalu mendapati kenyataan pahit yang sama. Kedua orang tuanya, tidak pernah bisa mengenalinya…
***
Mereka berdua telah tiba di St Mungo. Salah seorang Healer yang bertanggung jawab menangani perawatan kedua orang tua Neville, menerima Neville dan neneknya dalam ruang kerjanya.
“Ada berita baik untuk kalian,” ujar sang Healer, tersenyum ramah kepada kedua tamunya. “Kami melihat kemajuan pada Mrs Alice Longbottom. Ia nampaknya sudah mulai bisa berbicara sepatah dua patah kata. Beberapa minggu belakangan ini bahkan, ia juga mulai mengenali benda-benda yang ada di sekelilingnya…”
Neville dan neneknya saling bertukar pandang.
“Saya tahu, saya seharusnya langsung memberitahu Anda soal ini,” sang Healer mengangguk ke arah nenek Neville. “Tapi kami harus memastikannya dulu. Jadi kami melakukan serangkaian tes, beberapa ramuan penyembuh dan mantra yang intensif… dan hasilnya, saya boleh katakan, yang terbaik yang bisa kita harapkan… Yah, kalian berdua sebaiknya melihatnya sendiri. Mari, kalau begitu, kita temui mereka sekarang…” sang Healer bangkit dari duduknya dan berjalan keluar ruangan, diikuti oleh Neville dan neneknya.
***
“Mr dan Mrs Longbottom,” sang Healer menyapa ayah dan ibu Neville, sesampainya mereka bertiga di dalam bangsal tertutup di lantai empat itu. “Ini Neville, putra kalian, datang mengunjungi kalian, bersama ibu kalian juga…”
Kedua pasiennya sama sekali tak menunjukkan reaksi. Ayah Neville duduk melamun dengan mata menatap kosong, sementara wanita di sampingnya menundukkan kepalanya sambil bersenandung pelan. Sebuah pemandangan yang sudah tak asing lagi di mata Neville.
Sang Healer memberi isyarat kepada Neville agar maju mendekat. Neville menurutinya. Ia berjalan beberapa langkah menghampiri ibunya.
“Mrs Longbottom,” sang Healer berkata lagi dengan sabar. “Ini putramu Neville, datang mengunjungimu, lihatlah. Dan kebetulan, dia juga berulang tahun hari ini…”
Alice Longbottom berhenti bersenandung, lalu dengan amat perlahan mengangkat kepalanya. Seperti orang yang baru terbangun dari tidur, ia bangkit, menyeret kakinya satu dua langkah, tangan kanannya terulur ke arah Neville.
“Yeah, Mum,” ujar Neville yang sudah hafal betul gerakan ibunya itu. “Mum mau memberiku Drooble’s lagi?”
Tapi ibunya terus mengangkat tangannya, hingga mencapai puncak kepala Neville. Jari-jarinya yang panjang dan kurus menyusup ke sela-sela rambut Neville, membelai-belainya. Neville memejamkan matanya, merasakan sentuhan ibunya. Tangan Alice Longbottom meluncur turun, sekarang menyentuh kedua pelupuk mata Neville yang terpejam, mengusapnya dengan lembut, sebelum lalu bergerak menjelajahi wajah Neville.
Neville membuka matanya, memberanikan diri melihat ke arah ibunya. Pada saat yang bersamaan ibunya mendongakkan kepala memandangnya. Mereka berdua, ibu dan anak, saling bertatapan. Dan terjadilah keajaiban itu.
Neville mengawasi, bibir ibunya bergetar dan bergerak-gerak, kemudian, dengan tersendat-sendat, ia mengucapkannya.
“Ne… vil… le…”
“Ya Tuhan,” nenek Neville terisak dengan penuh rasa syukur. “Dia—dia mengenalimu, Neville!”
Neville tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya mengulurkan tangannya, merengkuh ibunya. Alice Longbottom kembali tak menunjukkan reaksi, tubuhnya bergeming dalam pelukan erat anaknya, tapi Neville memang tidak mengharapkan lebih dari ini. Sebutan ibunya atas namanya, yang didengar Neville untuk pertama kali dalam hidupnya, bagaikan tetesan embun sejuk yang menyusup ke sekujur tubuhnya, mengalir ke seluruh pembuluh darahnya, seketika menghapuskan semua kepedihan batinnya dalam sekejap, mendatangkan kebahagiaan luar biasa yang tak pernah dirasakan oleh Neville selama bertahun-tahun. Semua itu sudah lebih dari cukup bagi Neville.
Tak bisa ia melukiskan dengan kata-kata, betapa ia mendambakan terjadinya saat ini. Betapa ia memimpikannya, selama sepuluh tahun lebih, tak pernah putus doa ia panjatkan setiap malam, walaupun mukjizat itu tak kunjung datang. Dan Neville sudah nyaris berputus asa, nyaris berhenti berharap, namun akhirnya di hari ini, tepat di hari ulang tahunnya yang kedelapan belas, ia telah mendapatkan hadiah yang terindah.
FIN.
*) Akhirnya, saya ikutan challenge ini juga, udah telat ya? Grin tapi belum deadline kan... Baru nemu ide ceritanya siy :p ditunggu komen, kritik, dan sarannya di C & C….