Inti permasalahan yang menjadi fokus kajian adalah sisi gelap dan sisi abu-abu perilaku anak jalanan yang merupakan fenomena sosial, yang menuju kepada perbuatan a-sosial, kriminal, dan eksploitasi seksual. Mereka pada usia 10 tahun untuk perempuan dan 13 tahun untuk laki-laki sudah melakukan koitus.
Tentunya menjadi penyakit sosial seperti judi, kekerasan, pencurian dan free-sex. Walaupun tidak semua, namun diperkirakan sebanyak 81% berperilaku seperti itu. Selanjutnya kebiasaan minum alkohol, merokok dan mengkonsumsi obat-obat terlarang. Penyakit itu sudah kronis dan sulit untuk disembuhkan, serta siapa yang bertanggung jawab dalam pengobatannya, yaitu semua pihak terkait seperti dinas sosial, pendidikan, kesehatan, kanwil agama, atau pemprop dan pemkot/kab itu sendiri.
Pertumbuhan mereka sangat luar biasa, diperkirakan mencapai 400%. Merambah ke seluruh wilayah kota. Terindikasi dengan maraknya para pengamen dan peminta-minta usia 4 - < 30 tahun di perempatan jalan, di pusat-pusat keramaian, rumah makan, terminal, pangkalan angkot, bis kota dan lain-lain tempat, yang jumlah mereka + 6.000 orang.
Fenomena perilaku mereka yang unik, kumal, kucel, berasesori, tato, rambut gundul, atau diwarnai, pakaian sobek-sobek, tidak karuan, menghisap lem (aibon), bensin, minyak tanah, spirtus dan lain-lain. Tentunya akan berdampak buruk terhadap pribadi dan kesehatan mereka.
Anak-anak usia 5-10 tahun mengamen dan meminta-minta yang diawasi oleh ibunya dibawah pohon rindang, diperempatan dago, Jl. Moch Toha, dan mulut jalan tol Moch Toha dan Buah Batu dengan berpakaian seronok dan menor dengan sebatang rokok ditangan. Fenomena pemerasan dan pemerkosaan hak asasi anak oleh seorang ibu. sungguh tega seorang ibu memperlakukan anaknya seperti itu, sementara uangnya ia gunakan untuk berfoya-foya. Tega ia memeras tenaga anak kecil, dan sekaligus menghancurkan masa depan mereka.
Fenomena apakah yang sedang bergulir saat ini tentang perlakuan anak di bawah umur, untuk mengais Rp. 100, Rp. 500,- paling besar Rp.1.000,-. Ditengah terik matahari, hujan lebat, bahaya jatuh dari kendaraan, terserempet mobil dan lain-lain. Sungguh kejam ibu kandung tersebut. Setelah mereka beranjak usia 15 tahun untuk anak perempuan beralih profesi menjadi PSK (Penjaja Seks Komersial).
1. Pendahuluan
Anak jalanan yang sebelumnya disebut GEPENG (Gelandangan dan Pengemis) merupakan fenomena masyarakat bahkan menjadi permasalahan dunia. Artinya bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah internasional yang ditangani oleh PBB melalui UNICEF.
Keberadaan mereka tentunya disebabkan oleh faktor ekonomi, sebagai contoh dampak krisis moneter. Pada tahun 1997 percepatan pertumbuhan yang sangat luar biasa yaitu mencapai 400 %.
Jelas bukan lagi menjadi permasalahan di sektor ekonomi, namun sudah merambah ke dalam bidang sosial, pendidikan, bahkan memasuki ke dalam masalah kesehatan. Karena apa, kebiasaan hidup buruk mereka seperti merokok, minum minuman keras, seks bebas, tidak suka mandi, mencuri, judi, dan ketergantungan-ketergantungan pada obat-obatan terlarang.
Hal itu jelas menjadi tanggung jawab bidang-bidang seperti disebut di atas yaitu sosial, pendidikan, dan kesehatan, serta masalah moral dan agama. Sehingga semua harus turut serta dalam menangani permasalahan tersebut. Fenomena ataupun gejala dan permasalahannya merambah secara sporadis terhadap semua aspek kehidupan dan kemanusiaan. Apabila dirinci namanya sebagai berikut.
Fenomena Sosial. Kebiasaan mereka seperti berkelahi, mencuri, mabuk-mabukan akibat minuman keras, perilaku seks bebas, sodomi, lesbian, dan ketergantungan terhadap menghisap lem, bensin, minyak tanah dan lain-lain. Perbuatan itu tentunya merupakan anti sosial yang menjadi tanggung jawab bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan, serta moral dan agama.
Fenomena Pendidikan. Usia mereka mayoritas (81%) berada pada 5 – 18 tahun, berada pada usia sekolah (SD – SLTA). Dengan aktivitas di jalanan tentunya mereka tidak bersekolah. Hal ini merupakan masalah yang berkaitan dengan pendidikan.
Fenomena Kesehatan. Perilaku anak jalanan yang berkaitan dengan masalah kesehatan, yaitu pecandu perokok, ketergantungan pada minum-minuman keras atau minuman “oplosan” (alkohol dan lainnya), ketergantungan pada obat-obatan terlarang, jarang mandi, makanan dengan gizi buruk, melakukan kegiatan seksual (coitus) di bawah umur. Bagi perempuan anak jalanan mereka melakukan seksual pertama pada usia 10 tahun, sedangkan anak laki-lakinya pada usia 13 tahun (Ibrahim Besar, 2002). Masalah ini tentunya akan berdampak pada kesehatan mereka.
Masalah Kriminal. Perbuatan dan tindakan mereka yang menjurus ke arah kekerasan, perkelahian, pemerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan terutama terhadap anak-anak dibawah umur, sodomi dan menjurus pada pembunuhan. Hal ini merupakan kegiatan amoral yang harus ditangani oleh semua pihak.
Masalah Agama dan Kesusilaan. Seperti perbuatan-perbuatan mengganggu ketertiban umum, perlakuan pemerkosaan, pemerasan, seks bebas dan seks dibawah umur, sodomi, mutilasi, membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain. Dimana menurut agama, moral dan kesusilaan sangat dilarang.
2. Pertumbuhan dan Lembaga yang Bertanggung Jawab
Pertumbuhan anak jalanan yang sangat mengagetkan yaitu mencapai 400% mulai krisis moneter (1997/1998–2002/2003) bahkan mungkin terus-menerus meningkat sampai sekarang. Menurut catatan Dinas Sosial Kota Bandung diperkirakan 5.000 – 6.000 anak. Yang semula diperkirakan hanya 1.000 – 2.000 anak (sebelum moneter 1998). Sebagai indikasi bisa terlihat pengamen di setiap perempatan jalan raya, terminal-terminal, pusat-pusat pertokoan, pangkalan “Bis kota”, rumah-rumah makan, tempat-tempat hiburan, ditambah para peminta-minta, para pengemis, calo-calo angkutan kota, dan sebagainya yang tentunya menimbulkan kerawanan sosial.
Selanjutnya anak-anak tersebut jangan dibiarkan terus-menerus menjadi anak jalanan, yang akan menimbulkan kerawanan sosial. Perlu ditangani dengan segera. Melalui Kepres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (KHA), yang isinya adalah melindungi anak-anak dari penyia-nyiaan, eksploitasi, dan penyalahgunaan mereka, termasuk penganiayaan, perkosaan, dan perlakuan amoral, atau asusila lainnya. Lembaga dunia yaitu PBB, melalui UNICEF-nya yang bertanggung jawab untuk menanggulangi masalah ini.
Selanjutnya Departemen Sosial bekerjasama dengan UNDP, mendirikan Rumah Singgah (1994), Rumah Pondok, dan Mobil Sahabat Anak (MSA). Rumah dan mobil tersebut dimaksudkan untuk memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak jalanan.
Kelompok anak jalanan mempunyai perilaku yang unik, pakaian yang unik, assesori pada tubuh seperti tato, anting-anting pada telinga yang lebih dari satu, dan kadang-kadang bibir dan pipinya pun diberi anting. Mereka kadang-kadang punya bahasa gaul yang berlaku pada gengnya. Sehingga mereka mempnyai budaya sendiri, yang penulis sebut sebagai subkultur, sebagai contoh berperilaku sebagai banci, waria/ bencong dan lain-lain.
3. Usia dan Pendidikan
Berdasarkan hasil observasi langsung di jalanan seperti di perempatan, terminal bis kota, dan angkutan kota, serta pusat-pusat pertokoan diketahui anak-anak jalanan itu berusia sekitar 5 – 18 tahun (mayoritas) dan 18 tahun keatas juga cukup banyak namun tidak sebanyak pada usia 5 – 18 tahun. Tentunya mereka itu seharusnya masih duduk di bangku sekolah.
Tingkat pendidikan anak-anak jalanan, berada pada pendidikan rendah (95%) yaitu tidak tamat SD sampai dengan tamat SMP. Hal ini sangatlah rawan terutama untuk masa depan mereka. Tidak mungkin mereka untuk terus-menerus menjadi anak jalanan.
4. Pengamen Jalanan Sebagai Aktivitas Pencarian Uang
Klasifikasi mereka adalah usia 5 - < 30 tahun. Alat musik yang digunakan: dari mulai tidak pakai alat, hanya berupa tepuk tangan kemudian Kecrek biasanya dibuat dari bekas tutup botol limun. Gitar (solo), dan beramai-ramai (2 – 4 orang). Gabungan gitar dan harmonika (solo), gitar dan drum kecil (2 – 4 orang), gendang dengan botol aqua galon, gendang kecil, bongo, tipa, gitar biola, dan lain-lain.Suling (solo). Menggunakan Tape Recorder, berkaraoke ria (1 – 2 orang), ditambah dengan tarian, memakai topeng, dan pakaian khas untuk tarian, seperti gaya wayang orang, disamping itu pengampilan sebagai banci yang pada intinya sama sebagai pengamen jalanan.
5. Aksesori atau Pernak-Pernik yang Mereka Gunakan
Dari anak-anak 5 – 13 tahun belum bertato pada umumnya. Namun mulai dari 14 – 21 mulai dengan tato pada tangan, badan, leher, dan kaki, untuk kelompok perempuannya pemakaian tatonya sebagai simbol ketua atau dipertua dan ditempatkan pada punggung, leher, lengan, perut di atas pusar, dan pada buah dada. Sebagai contoh tokoh anak jalanan Adith (Teh Adith) bertato pada punggung dengan gambar “Singa Mas”. Mantan anak jalanan Teh Imas, ia bertato mulai buah dada sampai kepada pusar dengan gambar naga. Untuk anak jalanan laki-laki, mereka memakai tato pada lengan dari atas sampai bawah, biasanya gambar naga, orang indian, bunga-bunga, harimau, kobra, tengkorak manusia, kemudian pada kaki, mulai dari paha sampai betis. Pada badan, yaitu pada punggung dengan berbagai motif, naga, kobra, harimau, singa, tengkorak manusia, bunga-bunga dan motif lain. Pada bagian depan mulai dada sampai perut, dengan motif yang beda-beda. Umumnya tato dianggap sebagai simbol kekuasaan anak jalanan.
Gaya Pakaian anak jalanan usia 5 – 12 tahun, berpakaian biasa, kalau anak SD pakai seragam SD, atau pakai celana merah SD atasannya kaos oblong. Untuk anak perempuannya pun pada usia tersebut tidak ada bedanya, cuman penampilannya saja kumal dan lusuh.
Beranjak usia remaja cara berpakaian mulai berbeda, misalnya celana kumal bolong-bolong, sabuk, pakai anting-anting dengan mata titik penuh pada telinga, hidung, bibir, bahkan ada yang menggunakannya pada lidah.
Pakai kalung dari rantai, kulit, plastik, tali sepatu, dengan gantungan kunci, dan lain-lain. kemudian memakai gelang atau rantai pada tangan dan kadang-kadang pada kaki, serta gelang “Bahar” dengan berbagai motif. Baju mereka kaos oblong dengan jaket jean yang sudah lusuh dan kumal.
Gaya Rambut. Mereka biasanya mengecat rambut dengan warna-warni, ada yang panjang atau jabrig pada laki-lakinya. Ada juga yang botak sebagian, pendek satu sentimeter dengan belakang panjang, atau ada dibuat keras berdiri ke atas gaya “landak” atau gaya “rocker”. Ada pula yang khasnya dengan topi berambut panjang dikepang gaya Gombloh (alm.) tahun 70-an.
6. Pengemis
Pengemis dan anak jalanan merupakan dua sisi “uang logam”, yang kedua-duanya merupakan problematik sosial, yang ternyata harus segera ditangani. Dari mulai krisis ekonomi dan krisis hampir berakhir namun dua kelompok ini terus-menerus bertambah.
Bisa kita buktikan mulai dari perbatasan Kota dan Kabupaten Bandung di sebelah selatan, peminta-minta baik anak kecil atau dewasa yang biasanya di angkot-angkot, dan di perempatan jalan. Contohnya di perempatan Jalan Moch. Toha, Ramdan, dan Astana Anyar, anak-anak kecil membawa gelas bekas kemasan air mineral, meminta-minta keluar masuk angkot, atau pada mobil-mobil yang berhenti. Sementara orang tuanya mengawasi di kejauhan.
Yang penulis amati sampai sekarang, dari generasi ke generasi dari mulai ibunya, anaknya, sekarang ke cucunya. Mereka terus menerus menjadi pengemis dan anak jalanan yaitu Bi Inah (nama samaran).
Kegiatan anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis mayoritas berusia 4 – 15 tahun. Tidak termasuk mereka yang cacat fisik, seperti tuna netra, tuna daksa, dan tuna rungu. Serta kebanyakan anak-anak normal. Penghasilan mereka sebagian besar diambil oleh orang tuanya, selebihnya dipakai mabuk, rokok, judi, dan makan.
7. Fenomena Baru yang Muncul
Suatu hal yang membuat iba seseorang memandang seorang anak kecil usia 7 – 13 tahun memikul dan menjajakan Cobek (Cowet dalam Bahasa Sunda) dengan ulekan (Mutu dalam bahasa sunda) yang terbuat dari “batu alam” atau dari semen.
Yang tentunya berat, karena terbuat dari batu dan semen. Satu pasang cobek dan ulekan bisa mencapai 2 – 3 kg beratnya. Seorang anak tersebut memikul bisa 5-10 pasang. Dapat dibayangkan anak usia 7-13 tahun memikul beban seberat sampai 30 kg. dimana mereka kurus kering dan dapat dikatakan kurang gizi, memikul beban yang sangat berat. Betapa orang yang melihat merasa ibu dan kasihan, akhirnya mereka tidak membeli “cobek” tapi menyodorkan yang yang besarnya antara Rp. 5-10 ribu.
Itulah yang menjadi tujuan, bukan semata-mata menjual benda itu, Akan tetapi rasa iba dan kasihan itulah yang dijual. Cobek dan ulekan hanya sebagai media atau alat saja agar orang menjadi iba dan kasihan. Dan ternyata dibelakangnya ada orang sebagai Bos yang memperalat anak-anak jalanan itu. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah menangani permasalahan ini dan jangan dibiarkan berlarut-larut, demi masa depan mereka.
8. Sisi Gelap dan Sisi Abu-abu
Hampir sebagian besar anak jalanan, melakukan kegiatan seks bebas. Baik bagi laki-lakinya maupun perempuannya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di jalanan, bagi anak laki-laki mengenal seks pada usia 13 tahun, sedangkan bagi perempuannya pada usia 10 tahun. Sudah remaja mereka dieksploitasi menjadi PSK oleh kelompok tertentu. Sesudah itu mereka secara terpaksa atau dipaksa menjadi kupu-kupu malam, sesudah tua entah apa yang terjadi ?
9. Perilaku Seksual
Mereka mula-mula melakukan seksualitas melalui uji coba dengan sesama anak jalanan dengan suka sama suka. Atau pada usia 15 tahun (anak perempuan) dan 8 tahun (anak laki-laki) dimulai dari bermain peran.
Melakukan seks bebas dengan keterpaksaan, setelah meminum minuman keras, kemudian mabuk, dan dimanfaatkan oleh lawan jenisnya.
Melakukan seks dengan dipaksa atau diperkosa. Anak laki-laki dan perempuan minum minuman keras kemudian mabuk, setelah itu mereka beramai-ramai memperkosa lawan jenisnya (pada umumnya dilakukan pada anak perempuan) dan kadang-kadang si perempuan tersebut sedang tidak mabuk. Ia dipaksa ramai-ramai di suatu tempat, atau terhadap si perempuan diberi minuman setelah mabuk dikerjakan ramai-ramai.
Dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang untuk merenggut kegadisannya. Sedangkan anak laki-lakinya dimanfaatkan oleh tante-tante girang. Terutama bagi anak jalanan usia 13 – 20 tahun, karena dianggap sebagai jamu awet muda untuk tante-tante.
Wawancara yang dilakukan oleh LATIVI yang ditayangkan Pebruari 2006 pukul 23.00 WIB. Dalam tema “Sisi gelap kehidupan pada ibu rumah tangga yang bekerja di perusahaan swasta berusia 40 tahun, yang memanfaatkan anak jalanan sebagai pemuas birahinya dan alasan-alasan lainnya.”. Pernyataan ibu tersebut sebagai berikut :
“Untuk mencari variasi”, ia berkata “makanpun tidak terus-menerus dengan sayur asam, perlu sayur-sayur lainnya. Demikian juga terhadap seks, perlu adanya suatu yang lain. Variasi tersebut baik dari segi teknik dan gaya, maupun orangnya”. Usia anak jalanan yang sering ia pakai 18 – 25 tahun.
“Alasan lain karena sering ditinggalkan suami”, yaitu sebagai seorang yang bekerja di pelayaran, ia memerlukan kehangatan, sentuhan, dan sebagainya atau dengan kata lain kesepian.
Mengenai kecintaan terhadap suaminya, tetap ia sangat mencintai dan menyayanginya. Ia mengatakan suaminya itu tetap sebagai sosok yang dihormati dan disayangi. Ia melakukannya hanya karena kebutuhan seksual saja.
Tempat yang dijadikan untuk memuaskan birahinya itu ialah di mobil, di tempat-tempat sunyi (taman), di penginapan, atau di hotel. Waktu yang paling sering dipakai yaitu setelah makan siang. Tidak pernah dilakukan di rumah sendiri, dan malam hari, hal ini untuk menghindari kecurigaan dari anak dan keluarganya.
Frekuensi aktivitas seksual dengan anak jalanan yang dilakukan oleh ibu tersebut 5 sampai 6 kali dalam satu bulan, ditempat tempat yang berbeda seperti yang disebutkan di atas. Ia biasa memberikan uang tips pada mereka Rp 200.000,00 – Rp 300.000,00 tiap kali ia melakukan. Anak jalanan yang ia gunakan hanya sebagai objek. Artinya ia dikomando harus melakukan ini dan itunya. Si ibu tersebut berpendapat karena dia telah dibeli, apapun yang dikehendaki dalam adegan erotik tersebut harus mau, karena ia sudah dibayar.
Untuk anak perempuannyapun pada prinsipnya sama, terkadang ia dijual oleh germo kepada laki-laki hidung belang atau cukong. Setelah anak itu beranjak remaja dipelihara oleh germo di rumah bordil (tempat prostitusi). Kemudian dipoles, dan didandani. Bagi mereka yang masih gadis dapat dijual dengan harga jutaan rupiah. Pengakuan mereka (anak jalanan) ia mendapat bayaran Rp 5.000.000,00 – Rp 10.000.000,00. ia mendapat bagian 30%, sisanya diambil germo.
Mula-mula memang takut, sakit, dan sebagainya namun lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan dan ketagihan.
10. Penyimpangan Seks Pada Anak Jalanan
Sodomi. Terutama kepada anak laki-laki usia SD – SLTP. Lebih kejam lagi setelah itu dibunuh. Seperti kasus Robot Gedeg tahun 1990-an.
Pemerkosaan dan penganiayaan, serta pembunuhan. Kebrutalan yang biasa dialakukan oleh sekelompok anak jalanan untuk memperkosa sesama anak jalanan lagi, atau siapa saja anak perempuan yang mereka dapati. Mereka dibawa ke suatu tempat, kemudian disekap, setelah diperkosa lalu dibunuh.
Pelecehan seks terhadap anak di bawah umur. Sering ditemukan anak perempuan 3 – 9 tahun diperkosa oleh beberapa orang anak jalanan belasan tahun. Tentunya merupakan perbuatan yang sangat membahayakan, perbuatan jahat yang harus segera ditangani bersama.
Biseks. Homo, lesbi, atau dapat melakukan seks dengan sesama jenis atau lawan jenis. Disamping itu mereka suka melakukan penyimpangan seks kepada sesama jenis. Maka jelas tidak sedikit dari kelompok mereka yang terindikasi penyakit akibat aktivitas seks bebas itu yaitu HIV/AIDS. Namun tidak terdeteksi jumlahnya.
Adapun yang menjadi permasalahannya adalah, siapakah yang akan menanggung dan membantu mereka dalam pembiayaan kesehatannya? Hidup mereka pas-pasan bahkan dapat dikatakan kurang, apalagi dengan kebiasaan boros, mabuk, judi, dan seks. Dalam pandangan hidup mereka, hidup itu hari ini, hari esok bagaimana nanti. Artinya pendapatan hari ini dihabiskan hari ini pula. Sehingga tidak ada tabungan sedikitpun. Apabila mereka sakit, repotlah dia, apalagi harus sampai dirawat. Hal ini akan menjadi beban masyarakat. Rumah singgah rencananya akan membuat semacam koperasi bagi mereka namun entah kapan dapat terealisasi.
11. Cara Penanggulangan/Pemecahan Masalah Anak Jalanan
Cara penanggulangannya harus terintegrasi semua komponen terkait sepeti Depertemen/Dinas Pendidikan, Sosial, Kesehatan, Agama, HAK ASASI MANUSIA, lembaga non pemerintah (Non Govermental Organization) melalui program-program terpadu.
12. Penyakit dan Permasalahannya
Dampak dari perilaku seks bebas, pecandu rokok, minuman keras, dan mengkonsumsi obat-obat terlarang, berpengaruh pada kesehatan mereka. Beberapa penyakit yang menimpa mereka seperti :
Paru-paru (TBC). Hampir 60% dari perokok dan pecandu minuman keras mengidap penyakit paru-paru Tober Colosis (TBC). Penyakit Jantung hampir 30%. Penyakit kulit dan kelamin, hampir 80% dari pelaku seks bebas. HIV AIDS, penyakit ini menyerang pada pria atau wanita yang melakukan seks bebas. Anak jalanan tentunya sudah banyak yang terinfeksi penyakit ini. Hal ini jelas karena mereka suka melakukan seks dibawah umur yaitu 10 tahun anak perempuan dan 13 tahun anak laki-laki.
Hasil wawancara dengan Teh Leni, dapat dijadikan sebagai penguat terhadap uraian sebelumnya, mengenai perilaku anak jalanan dengan segala aspeknya, dan dampknya terhadap kesehatan diri dan lingkungannya.
Mereka kumal, kotor, seks bebas, judi dan kriminal. Pecandu alkohol, mabuk, dan obat-obat terlarang.
13. Penutup
Anak jalanan mempunyai perilaku yang unik dan kompleks. Mereka kumal, kucel, jarang mandi, juga ganti baju. Makan makanan yang kurang sehat, tidak pernah cuci tangan kalau mau makan. Akan tetapi mereka kelihatannya sehat. Barangkali mereka telah kebal dengan berbagai penyakit. Tidur mereka pun kadang-kadang hanya dialasi sehelai surat kabar atau kardus. Tampilan mereka kelihatannya tetap sehat.
Tentunya menjadi penyakit sosial seperti judi, kekerasan, pencurian dan free-sex. Walaupun tidak semua, namun diperkirakan sebanyak 81% berperilaku seperti itu. Selanjutnya kebiasaan minum alkohol, merokok dan mengkonsumsi obat-obat terlarang. Penyakit itu sudah kronis dan sulit untuk disembuhkan, serta siapa yang bertanggung jawab dalam pengobatannya, yaitu semua pihak terkait seperti dinas sosial, pendidikan, kesehatan, kanwil agama, atau pemprop dan pemkot/kab itu sendiri.
Pertumbuhan mereka sangat luar biasa, diperkirakan mencapai 400%. Merambah ke seluruh wilayah kota. Terindikasi dengan maraknya para pengamen dan peminta-minta usia 4 - < 30 tahun di perempatan jalan, di pusat-pusat keramaian, rumah makan, terminal, pangkalan angkot, bis kota dan lain-lain tempat, yang jumlah mereka + 6.000 orang.
Fenomena perilaku mereka yang unik, kumal, kucel, berasesori, tato, rambut gundul, atau diwarnai, pakaian sobek-sobek, tidak karuan, menghisap lem (aibon), bensin, minyak tanah, spirtus dan lain-lain. Tentunya akan berdampak buruk terhadap pribadi dan kesehatan mereka.
Anak-anak usia 5-10 tahun mengamen dan meminta-minta yang diawasi oleh ibunya dibawah pohon rindang, diperempatan dago, Jl. Moch Toha, dan mulut jalan tol Moch Toha dan Buah Batu dengan berpakaian seronok dan menor dengan sebatang rokok ditangan. Fenomena pemerasan dan pemerkosaan hak asasi anak oleh seorang ibu. sungguh tega seorang ibu memperlakukan anaknya seperti itu, sementara uangnya ia gunakan untuk berfoya-foya. Tega ia memeras tenaga anak kecil, dan sekaligus menghancurkan masa depan mereka.
Fenomena apakah yang sedang bergulir saat ini tentang perlakuan anak di bawah umur, untuk mengais Rp. 100, Rp. 500,- paling besar Rp.1.000,-. Ditengah terik matahari, hujan lebat, bahaya jatuh dari kendaraan, terserempet mobil dan lain-lain. Sungguh kejam ibu kandung tersebut. Setelah mereka beranjak usia 15 tahun untuk anak perempuan beralih profesi menjadi PSK (Penjaja Seks Komersial).
1. Pendahuluan
Anak jalanan yang sebelumnya disebut GEPENG (Gelandangan dan Pengemis) merupakan fenomena masyarakat bahkan menjadi permasalahan dunia. Artinya bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah internasional yang ditangani oleh PBB melalui UNICEF.
Keberadaan mereka tentunya disebabkan oleh faktor ekonomi, sebagai contoh dampak krisis moneter. Pada tahun 1997 percepatan pertumbuhan yang sangat luar biasa yaitu mencapai 400 %.
Jelas bukan lagi menjadi permasalahan di sektor ekonomi, namun sudah merambah ke dalam bidang sosial, pendidikan, bahkan memasuki ke dalam masalah kesehatan. Karena apa, kebiasaan hidup buruk mereka seperti merokok, minum minuman keras, seks bebas, tidak suka mandi, mencuri, judi, dan ketergantungan-ketergantungan pada obat-obatan terlarang.
Hal itu jelas menjadi tanggung jawab bidang-bidang seperti disebut di atas yaitu sosial, pendidikan, dan kesehatan, serta masalah moral dan agama. Sehingga semua harus turut serta dalam menangani permasalahan tersebut. Fenomena ataupun gejala dan permasalahannya merambah secara sporadis terhadap semua aspek kehidupan dan kemanusiaan. Apabila dirinci namanya sebagai berikut.
Fenomena Sosial. Kebiasaan mereka seperti berkelahi, mencuri, mabuk-mabukan akibat minuman keras, perilaku seks bebas, sodomi, lesbian, dan ketergantungan terhadap menghisap lem, bensin, minyak tanah dan lain-lain. Perbuatan itu tentunya merupakan anti sosial yang menjadi tanggung jawab bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan, serta moral dan agama.
Fenomena Pendidikan. Usia mereka mayoritas (81%) berada pada 5 – 18 tahun, berada pada usia sekolah (SD – SLTA). Dengan aktivitas di jalanan tentunya mereka tidak bersekolah. Hal ini merupakan masalah yang berkaitan dengan pendidikan.
Fenomena Kesehatan. Perilaku anak jalanan yang berkaitan dengan masalah kesehatan, yaitu pecandu perokok, ketergantungan pada minum-minuman keras atau minuman “oplosan” (alkohol dan lainnya), ketergantungan pada obat-obatan terlarang, jarang mandi, makanan dengan gizi buruk, melakukan kegiatan seksual (coitus) di bawah umur. Bagi perempuan anak jalanan mereka melakukan seksual pertama pada usia 10 tahun, sedangkan anak laki-lakinya pada usia 13 tahun (Ibrahim Besar, 2002). Masalah ini tentunya akan berdampak pada kesehatan mereka.
Masalah Kriminal. Perbuatan dan tindakan mereka yang menjurus ke arah kekerasan, perkelahian, pemerasan, pelecehan seksual, pemerkosaan terutama terhadap anak-anak dibawah umur, sodomi dan menjurus pada pembunuhan. Hal ini merupakan kegiatan amoral yang harus ditangani oleh semua pihak.
Masalah Agama dan Kesusilaan. Seperti perbuatan-perbuatan mengganggu ketertiban umum, perlakuan pemerkosaan, pemerasan, seks bebas dan seks dibawah umur, sodomi, mutilasi, membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain. Dimana menurut agama, moral dan kesusilaan sangat dilarang.
2. Pertumbuhan dan Lembaga yang Bertanggung Jawab
Pertumbuhan anak jalanan yang sangat mengagetkan yaitu mencapai 400% mulai krisis moneter (1997/1998–2002/2003) bahkan mungkin terus-menerus meningkat sampai sekarang. Menurut catatan Dinas Sosial Kota Bandung diperkirakan 5.000 – 6.000 anak. Yang semula diperkirakan hanya 1.000 – 2.000 anak (sebelum moneter 1998). Sebagai indikasi bisa terlihat pengamen di setiap perempatan jalan raya, terminal-terminal, pusat-pusat pertokoan, pangkalan “Bis kota”, rumah-rumah makan, tempat-tempat hiburan, ditambah para peminta-minta, para pengemis, calo-calo angkutan kota, dan sebagainya yang tentunya menimbulkan kerawanan sosial.
Selanjutnya anak-anak tersebut jangan dibiarkan terus-menerus menjadi anak jalanan, yang akan menimbulkan kerawanan sosial. Perlu ditangani dengan segera. Melalui Kepres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (KHA), yang isinya adalah melindungi anak-anak dari penyia-nyiaan, eksploitasi, dan penyalahgunaan mereka, termasuk penganiayaan, perkosaan, dan perlakuan amoral, atau asusila lainnya. Lembaga dunia yaitu PBB, melalui UNICEF-nya yang bertanggung jawab untuk menanggulangi masalah ini.
Selanjutnya Departemen Sosial bekerjasama dengan UNDP, mendirikan Rumah Singgah (1994), Rumah Pondok, dan Mobil Sahabat Anak (MSA). Rumah dan mobil tersebut dimaksudkan untuk memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak jalanan.
Kelompok anak jalanan mempunyai perilaku yang unik, pakaian yang unik, assesori pada tubuh seperti tato, anting-anting pada telinga yang lebih dari satu, dan kadang-kadang bibir dan pipinya pun diberi anting. Mereka kadang-kadang punya bahasa gaul yang berlaku pada gengnya. Sehingga mereka mempnyai budaya sendiri, yang penulis sebut sebagai subkultur, sebagai contoh berperilaku sebagai banci, waria/ bencong dan lain-lain.
3. Usia dan Pendidikan
Berdasarkan hasil observasi langsung di jalanan seperti di perempatan, terminal bis kota, dan angkutan kota, serta pusat-pusat pertokoan diketahui anak-anak jalanan itu berusia sekitar 5 – 18 tahun (mayoritas) dan 18 tahun keatas juga cukup banyak namun tidak sebanyak pada usia 5 – 18 tahun. Tentunya mereka itu seharusnya masih duduk di bangku sekolah.
Tingkat pendidikan anak-anak jalanan, berada pada pendidikan rendah (95%) yaitu tidak tamat SD sampai dengan tamat SMP. Hal ini sangatlah rawan terutama untuk masa depan mereka. Tidak mungkin mereka untuk terus-menerus menjadi anak jalanan.
4. Pengamen Jalanan Sebagai Aktivitas Pencarian Uang
Klasifikasi mereka adalah usia 5 - < 30 tahun. Alat musik yang digunakan: dari mulai tidak pakai alat, hanya berupa tepuk tangan kemudian Kecrek biasanya dibuat dari bekas tutup botol limun. Gitar (solo), dan beramai-ramai (2 – 4 orang). Gabungan gitar dan harmonika (solo), gitar dan drum kecil (2 – 4 orang), gendang dengan botol aqua galon, gendang kecil, bongo, tipa, gitar biola, dan lain-lain.Suling (solo). Menggunakan Tape Recorder, berkaraoke ria (1 – 2 orang), ditambah dengan tarian, memakai topeng, dan pakaian khas untuk tarian, seperti gaya wayang orang, disamping itu pengampilan sebagai banci yang pada intinya sama sebagai pengamen jalanan.
5. Aksesori atau Pernak-Pernik yang Mereka Gunakan
Dari anak-anak 5 – 13 tahun belum bertato pada umumnya. Namun mulai dari 14 – 21 mulai dengan tato pada tangan, badan, leher, dan kaki, untuk kelompok perempuannya pemakaian tatonya sebagai simbol ketua atau dipertua dan ditempatkan pada punggung, leher, lengan, perut di atas pusar, dan pada buah dada. Sebagai contoh tokoh anak jalanan Adith (Teh Adith) bertato pada punggung dengan gambar “Singa Mas”. Mantan anak jalanan Teh Imas, ia bertato mulai buah dada sampai kepada pusar dengan gambar naga. Untuk anak jalanan laki-laki, mereka memakai tato pada lengan dari atas sampai bawah, biasanya gambar naga, orang indian, bunga-bunga, harimau, kobra, tengkorak manusia, kemudian pada kaki, mulai dari paha sampai betis. Pada badan, yaitu pada punggung dengan berbagai motif, naga, kobra, harimau, singa, tengkorak manusia, bunga-bunga dan motif lain. Pada bagian depan mulai dada sampai perut, dengan motif yang beda-beda. Umumnya tato dianggap sebagai simbol kekuasaan anak jalanan.
Gaya Pakaian anak jalanan usia 5 – 12 tahun, berpakaian biasa, kalau anak SD pakai seragam SD, atau pakai celana merah SD atasannya kaos oblong. Untuk anak perempuannya pun pada usia tersebut tidak ada bedanya, cuman penampilannya saja kumal dan lusuh.
Beranjak usia remaja cara berpakaian mulai berbeda, misalnya celana kumal bolong-bolong, sabuk, pakai anting-anting dengan mata titik penuh pada telinga, hidung, bibir, bahkan ada yang menggunakannya pada lidah.
Pakai kalung dari rantai, kulit, plastik, tali sepatu, dengan gantungan kunci, dan lain-lain. kemudian memakai gelang atau rantai pada tangan dan kadang-kadang pada kaki, serta gelang “Bahar” dengan berbagai motif. Baju mereka kaos oblong dengan jaket jean yang sudah lusuh dan kumal.
Gaya Rambut. Mereka biasanya mengecat rambut dengan warna-warni, ada yang panjang atau jabrig pada laki-lakinya. Ada juga yang botak sebagian, pendek satu sentimeter dengan belakang panjang, atau ada dibuat keras berdiri ke atas gaya “landak” atau gaya “rocker”. Ada pula yang khasnya dengan topi berambut panjang dikepang gaya Gombloh (alm.) tahun 70-an.
6. Pengemis
Pengemis dan anak jalanan merupakan dua sisi “uang logam”, yang kedua-duanya merupakan problematik sosial, yang ternyata harus segera ditangani. Dari mulai krisis ekonomi dan krisis hampir berakhir namun dua kelompok ini terus-menerus bertambah.
Bisa kita buktikan mulai dari perbatasan Kota dan Kabupaten Bandung di sebelah selatan, peminta-minta baik anak kecil atau dewasa yang biasanya di angkot-angkot, dan di perempatan jalan. Contohnya di perempatan Jalan Moch. Toha, Ramdan, dan Astana Anyar, anak-anak kecil membawa gelas bekas kemasan air mineral, meminta-minta keluar masuk angkot, atau pada mobil-mobil yang berhenti. Sementara orang tuanya mengawasi di kejauhan.
Yang penulis amati sampai sekarang, dari generasi ke generasi dari mulai ibunya, anaknya, sekarang ke cucunya. Mereka terus menerus menjadi pengemis dan anak jalanan yaitu Bi Inah (nama samaran).
Kegiatan anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis mayoritas berusia 4 – 15 tahun. Tidak termasuk mereka yang cacat fisik, seperti tuna netra, tuna daksa, dan tuna rungu. Serta kebanyakan anak-anak normal. Penghasilan mereka sebagian besar diambil oleh orang tuanya, selebihnya dipakai mabuk, rokok, judi, dan makan.
7. Fenomena Baru yang Muncul
Suatu hal yang membuat iba seseorang memandang seorang anak kecil usia 7 – 13 tahun memikul dan menjajakan Cobek (Cowet dalam Bahasa Sunda) dengan ulekan (Mutu dalam bahasa sunda) yang terbuat dari “batu alam” atau dari semen.
Yang tentunya berat, karena terbuat dari batu dan semen. Satu pasang cobek dan ulekan bisa mencapai 2 – 3 kg beratnya. Seorang anak tersebut memikul bisa 5-10 pasang. Dapat dibayangkan anak usia 7-13 tahun memikul beban seberat sampai 30 kg. dimana mereka kurus kering dan dapat dikatakan kurang gizi, memikul beban yang sangat berat. Betapa orang yang melihat merasa ibu dan kasihan, akhirnya mereka tidak membeli “cobek” tapi menyodorkan yang yang besarnya antara Rp. 5-10 ribu.
Itulah yang menjadi tujuan, bukan semata-mata menjual benda itu, Akan tetapi rasa iba dan kasihan itulah yang dijual. Cobek dan ulekan hanya sebagai media atau alat saja agar orang menjadi iba dan kasihan. Dan ternyata dibelakangnya ada orang sebagai Bos yang memperalat anak-anak jalanan itu. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah menangani permasalahan ini dan jangan dibiarkan berlarut-larut, demi masa depan mereka.
8. Sisi Gelap dan Sisi Abu-abu
Hampir sebagian besar anak jalanan, melakukan kegiatan seks bebas. Baik bagi laki-lakinya maupun perempuannya. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di jalanan, bagi anak laki-laki mengenal seks pada usia 13 tahun, sedangkan bagi perempuannya pada usia 10 tahun. Sudah remaja mereka dieksploitasi menjadi PSK oleh kelompok tertentu. Sesudah itu mereka secara terpaksa atau dipaksa menjadi kupu-kupu malam, sesudah tua entah apa yang terjadi ?
9. Perilaku Seksual
Mereka mula-mula melakukan seksualitas melalui uji coba dengan sesama anak jalanan dengan suka sama suka. Atau pada usia 15 tahun (anak perempuan) dan 8 tahun (anak laki-laki) dimulai dari bermain peran.
Melakukan seks bebas dengan keterpaksaan, setelah meminum minuman keras, kemudian mabuk, dan dimanfaatkan oleh lawan jenisnya.
Melakukan seks dengan dipaksa atau diperkosa. Anak laki-laki dan perempuan minum minuman keras kemudian mabuk, setelah itu mereka beramai-ramai memperkosa lawan jenisnya (pada umumnya dilakukan pada anak perempuan) dan kadang-kadang si perempuan tersebut sedang tidak mabuk. Ia dipaksa ramai-ramai di suatu tempat, atau terhadap si perempuan diberi minuman setelah mabuk dikerjakan ramai-ramai.
Dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang untuk merenggut kegadisannya. Sedangkan anak laki-lakinya dimanfaatkan oleh tante-tante girang. Terutama bagi anak jalanan usia 13 – 20 tahun, karena dianggap sebagai jamu awet muda untuk tante-tante.
Wawancara yang dilakukan oleh LATIVI yang ditayangkan Pebruari 2006 pukul 23.00 WIB. Dalam tema “Sisi gelap kehidupan pada ibu rumah tangga yang bekerja di perusahaan swasta berusia 40 tahun, yang memanfaatkan anak jalanan sebagai pemuas birahinya dan alasan-alasan lainnya.”. Pernyataan ibu tersebut sebagai berikut :
“Untuk mencari variasi”, ia berkata “makanpun tidak terus-menerus dengan sayur asam, perlu sayur-sayur lainnya. Demikian juga terhadap seks, perlu adanya suatu yang lain. Variasi tersebut baik dari segi teknik dan gaya, maupun orangnya”. Usia anak jalanan yang sering ia pakai 18 – 25 tahun.
“Alasan lain karena sering ditinggalkan suami”, yaitu sebagai seorang yang bekerja di pelayaran, ia memerlukan kehangatan, sentuhan, dan sebagainya atau dengan kata lain kesepian.
Mengenai kecintaan terhadap suaminya, tetap ia sangat mencintai dan menyayanginya. Ia mengatakan suaminya itu tetap sebagai sosok yang dihormati dan disayangi. Ia melakukannya hanya karena kebutuhan seksual saja.
Tempat yang dijadikan untuk memuaskan birahinya itu ialah di mobil, di tempat-tempat sunyi (taman), di penginapan, atau di hotel. Waktu yang paling sering dipakai yaitu setelah makan siang. Tidak pernah dilakukan di rumah sendiri, dan malam hari, hal ini untuk menghindari kecurigaan dari anak dan keluarganya.
Frekuensi aktivitas seksual dengan anak jalanan yang dilakukan oleh ibu tersebut 5 sampai 6 kali dalam satu bulan, ditempat tempat yang berbeda seperti yang disebutkan di atas. Ia biasa memberikan uang tips pada mereka Rp 200.000,00 – Rp 300.000,00 tiap kali ia melakukan. Anak jalanan yang ia gunakan hanya sebagai objek. Artinya ia dikomando harus melakukan ini dan itunya. Si ibu tersebut berpendapat karena dia telah dibeli, apapun yang dikehendaki dalam adegan erotik tersebut harus mau, karena ia sudah dibayar.
Untuk anak perempuannyapun pada prinsipnya sama, terkadang ia dijual oleh germo kepada laki-laki hidung belang atau cukong. Setelah anak itu beranjak remaja dipelihara oleh germo di rumah bordil (tempat prostitusi). Kemudian dipoles, dan didandani. Bagi mereka yang masih gadis dapat dijual dengan harga jutaan rupiah. Pengakuan mereka (anak jalanan) ia mendapat bayaran Rp 5.000.000,00 – Rp 10.000.000,00. ia mendapat bagian 30%, sisanya diambil germo.
Mula-mula memang takut, sakit, dan sebagainya namun lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan dan ketagihan.
10. Penyimpangan Seks Pada Anak Jalanan
Sodomi. Terutama kepada anak laki-laki usia SD – SLTP. Lebih kejam lagi setelah itu dibunuh. Seperti kasus Robot Gedeg tahun 1990-an.
Pemerkosaan dan penganiayaan, serta pembunuhan. Kebrutalan yang biasa dialakukan oleh sekelompok anak jalanan untuk memperkosa sesama anak jalanan lagi, atau siapa saja anak perempuan yang mereka dapati. Mereka dibawa ke suatu tempat, kemudian disekap, setelah diperkosa lalu dibunuh.
Pelecehan seks terhadap anak di bawah umur. Sering ditemukan anak perempuan 3 – 9 tahun diperkosa oleh beberapa orang anak jalanan belasan tahun. Tentunya merupakan perbuatan yang sangat membahayakan, perbuatan jahat yang harus segera ditangani bersama.
Biseks. Homo, lesbi, atau dapat melakukan seks dengan sesama jenis atau lawan jenis. Disamping itu mereka suka melakukan penyimpangan seks kepada sesama jenis. Maka jelas tidak sedikit dari kelompok mereka yang terindikasi penyakit akibat aktivitas seks bebas itu yaitu HIV/AIDS. Namun tidak terdeteksi jumlahnya.
Adapun yang menjadi permasalahannya adalah, siapakah yang akan menanggung dan membantu mereka dalam pembiayaan kesehatannya? Hidup mereka pas-pasan bahkan dapat dikatakan kurang, apalagi dengan kebiasaan boros, mabuk, judi, dan seks. Dalam pandangan hidup mereka, hidup itu hari ini, hari esok bagaimana nanti. Artinya pendapatan hari ini dihabiskan hari ini pula. Sehingga tidak ada tabungan sedikitpun. Apabila mereka sakit, repotlah dia, apalagi harus sampai dirawat. Hal ini akan menjadi beban masyarakat. Rumah singgah rencananya akan membuat semacam koperasi bagi mereka namun entah kapan dapat terealisasi.
11. Cara Penanggulangan/Pemecahan Masalah Anak Jalanan
Cara penanggulangannya harus terintegrasi semua komponen terkait sepeti Depertemen/Dinas Pendidikan, Sosial, Kesehatan, Agama, HAK ASASI MANUSIA, lembaga non pemerintah (Non Govermental Organization) melalui program-program terpadu.
12. Penyakit dan Permasalahannya
Dampak dari perilaku seks bebas, pecandu rokok, minuman keras, dan mengkonsumsi obat-obat terlarang, berpengaruh pada kesehatan mereka. Beberapa penyakit yang menimpa mereka seperti :
Paru-paru (TBC). Hampir 60% dari perokok dan pecandu minuman keras mengidap penyakit paru-paru Tober Colosis (TBC). Penyakit Jantung hampir 30%. Penyakit kulit dan kelamin, hampir 80% dari pelaku seks bebas. HIV AIDS, penyakit ini menyerang pada pria atau wanita yang melakukan seks bebas. Anak jalanan tentunya sudah banyak yang terinfeksi penyakit ini. Hal ini jelas karena mereka suka melakukan seks dibawah umur yaitu 10 tahun anak perempuan dan 13 tahun anak laki-laki.
Hasil wawancara dengan Teh Leni, dapat dijadikan sebagai penguat terhadap uraian sebelumnya, mengenai perilaku anak jalanan dengan segala aspeknya, dan dampknya terhadap kesehatan diri dan lingkungannya.
Mereka kumal, kotor, seks bebas, judi dan kriminal. Pecandu alkohol, mabuk, dan obat-obat terlarang.
13. Penutup
Anak jalanan mempunyai perilaku yang unik dan kompleks. Mereka kumal, kucel, jarang mandi, juga ganti baju. Makan makanan yang kurang sehat, tidak pernah cuci tangan kalau mau makan. Akan tetapi mereka kelihatannya sehat. Barangkali mereka telah kebal dengan berbagai penyakit. Tidur mereka pun kadang-kadang hanya dialasi sehelai surat kabar atau kardus. Tampilan mereka kelihatannya tetap sehat.