Pada 1980-an, ketika harga minyak dunia melambung tinggi lantaran perang antara Irak dan Iran, Indonesia mendapat rezeki nomplok alias windfall profit. Bagaimana tidak, waktu itu produksi minyak dalam negeri mencapai 1,7 juta barel per hari sementara kebutuhan hanya kurang dari satu juta barel.
Berkah minyak itu kemudian dipakai untuk membangun infrastruktur dan membiayai program bimbingan masyarakat pertanian, yang pada gilirannya membuat Indonesia mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sendiri.
Namun, sepertinya ada yang terlupa. Keuntungan minyak itu kurang banyak diinvestasikan dalam memperkuat upaya penggantian minyak bumi — dan energi fosil lainnya — yang sedari awal disadari bakal habis.
Akhirnya, ketergantungan terhadap minyak bumi pun jadi kian sulit diputus. Hingga tahun 2009, minyak bumi memegang andil hampir 50 persen dalam penyediaan energi primer nasional.
>>Baca juga: Tentang Energi: Saatnya Bermain yang Baru
Ketergantungan yang tinggi itu belum diimbangi dengan peningkatan cadangan terbukti serta tingkat produksi. Dalam satu dekade terakhir, cadangan terbukti mengalami penurunan dari 5,1 miliar barel (2000) ke 4,3 miliar barel (2009), atau rata-rata 1,7 persen setahun.
Sedangkan tingkat produksi pada periode yang sama mengalami penurunan dari 1,45 juta barel per hari menjadi 0,95 juta barel per hari atau menurun rata-rata 3,8 persen per tahun.
Di sisi lain, konsumsi minyak bumi kita terus meningkat. Tak heran, sejak 2004 Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak netto (net oil importer) karena kemampuan produksi dalam negeri tidak dapat mengimbangi pertumbuhan konsumsi.
Tahun 2009, konsumsi minyak bumi kita mencapai 1,34 juta barel per hari — lebih tinggi dari kemampuan produksi yang sebesar 0,95 juta barel per hari.
Lebih dari itu, keterbatasan produksi telah pula mendorong peningkatan impor minyak mentah dalam lima tahun terakhir dari 322 ribu barel per hari (2005) ke 334 ribu barel per hari (2009).
Dalam lima tahun terakhir, impor bahan bakar minyak juga masih tetap tinggi akibat terbatasnya kapasitas kilang. Kalau pada 2005 Indonesia mengimpor 451 ribu barel BBM per hari, pada 2009 jumlahnya mencapai 389 ribu barel per hari.
Karena subsidi bahan bakar ditanggung negara, maka beban APBN pun kian berat. Apalagi pada saat harga minyak melambung tinggi. Tak heran, wacana menaikkan harga BBM (dengan mengurangi subsidi) terus mengemuka.
Tetapi, tingginya ketergantungan terhadap BBM membuat penghapusan subsidi jadi tidak mudah, sebab tindakan ini bakal tidak populer. Tidak mengejutkan jika pemerintah beberapa kali menunda pengurangan subsidi.
Selain pengurangan subsidi secara bertahap, pemerintah juga perlu memerhatikan pengurangan ketergantungan terhadap minyak bumi dengan meningkatkan diversifikasi penggunaan energi. Ini bisa dilakukan khususnya dengan meningkatkan penggunaan energi bersih dan terbarukan seperti matahari, angin, air, panas bumi, arus laut, dan lain-lain.
Langkah lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan efisiensi penggunaan minyak bumi.
Sebagai informasi, tingkat ketergantungan Amerika Serikat terhadap minyak bumi juga masih tinggi, meski diversifikasi energi di sana sudah meluas.
Kelompok pencinta lingkungan hidup di sana mendorong pemerintah AS untuk mengurangi konsumsi minyak hingga 2,5 juta barel per hari pada 2030 — atau setengah jumlah minyak yang diimpor AS dari Teluk Persia tahun lalu. Mereka juga mendesak produsen otomotif untuk membuat mobil dengan konsumsi bensin 1 liter untuk 25 km.
Langkah-langkah efisiensi penggunaan minyak bumi semacam ini juga perlu dilakukan Indonesia — salah satunya dengan mengatasi masalah kemacetan yang menyerang kota-kota besar.