Pencerahan bagi Kemiskinan Fantasi
Kisah-kisah fantasi dalam sastra, saat ini, boleh dibilang sedang berada di puncak popularitasnya. Cerita-cerita bergenre tersebut tak hanya populer di kalangan anak-anak, tetapi juga meluas di kalangan remaja dan dewasa. Sebuah fenomena yang tidak begitu kuat terjadi pada dekade-dekade sebelumnya.
Hadirnya milenium baru seakan menjadi pintu pembuka popularitas kisah-kisah di negeri antah-berantah yang identik dengan anak-anak ini. Dimulai dari sukses besar seri Harry Potter yang diikuti oleh versi layar lebarnya. Kemudian berlanjut dengan keberhasilan film trilogi Lord of the Ring—biasa disebut LOTR— baik dalam segi finansial maupun penghargaan internasional, seperti Oscar dan Golden Globe.
Hal ini berimbas pada pembuatan versi layar lebar kisah-kisah fantasi lainnya, seperti Chronicles of Narnia, Beowulf serta yang terbaru, Golden Compass—seri pertama trilogi His Dark Material. Hal ini juga diikuti oleh membanjirnya novel-novel yang menjadi bahan dasar adaptasi film-film itu di toko-toko buku yang tak pernah sepi peminat. Meski tak semua versi layar lebarnya memenuhi harapan pembaca setianya, namun hal itu berpengaruh pada popularitas kisah-kisah tentang dunia imajiner yang memesona tersebut.
Apa yang menjadi keistimewaan cerita-cerita bergenre ini? Menurut JRR Tolkien, sang penulis trilogi LOTR ini, dunia fantasi mampu memuaskan hasrat manusia untuk melepaskan diri dari segala keterbatasan dalam kehidupan yang fana ini, termasuk kematian itu sendiri (Charles Moseley, 1997:27).
Kisah-kisah itu menyediakan semacam kemungkinan untuk hal-hal di atas. Tak mengherankan jika cerita-cerita fantasi tak pernah hilang ditelan waktu dan akan selalu memikat manusia tanpa mengenal usia. Bahkan, beberapa di antaranya tak hanya sekadar menghibur, tetapi juga merangsang pencerahan dengan berbagai unsur filsafat, religi dan pengetahuan-pengetahuan lainnya di dalamnya.
Definisi fantasi
Pada umumnya, kisah-kisah fantasi sering diidentikkan dengan petualangan di dunia imajiner yang penuh dengan keajaiban. Namun, apa sebenarnya pengertian fantasi itu sendiri? Colin Manlove dalam Modern Fantasy: 5 Studies (1975) merumuskannya sebagai suatu dunia fiksi yang memesona, yang mengandung elemen-elemen supernatural-substansial dan tak selalu dapat dijelaskan dengan penciptaan ”dunia” atau tak dapat ditemukan dalam cerita-cerita bergenre lain yang lebih bersifat plausible, atau memungkinkan terjadi di dunia nyata.
Kisah-kisah ini sendiri sebenarnya telah dikenal sejak awal peradaban manusia yang dibungkus dalam legenda dan mitos-mitos kuno. Tak mengherankan jika cerita-cerita bergenre ini tak bisa dilepaskan dunia kesusastraan, meski sering kali diidentikkan dengan cerita anak-anak.
Dalam sejarah sastra Barat, kisah fantasi telah berkembang sebelum era Renaisans. Salah satunya, yaitu karya sastra Barat kuno terkemuka, dalam bentuk puisi epik, Beuwolf. Namun, pada perkembangannya karya-karya bernuansa ini sempat tak populer di zaman Renaisans, masa di mana logika dan ilmu pengetahuan menjadi elemen paling menonjol sehingga mendorong penolakan terhadap hal-hal yang berbau fantasi (Manlove, 2).
Pada abad pertengahan, hadirnya kembali kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau supernatural akibat pengaruh doktrin gereja merangsang kembali lahirnya kisah-kisah fantasi. Adapun pada saat yang hampir bersamaan di jazirah Arab muncul kisah-kisah 1001 malam, seperti Aladin ataupun Petualangan Sinbad yang penuh dengan elemen-elemen supernatural dengan pengaruh budaya Arab. Namun, meski popularitasnya sempat memudar seiring berjalannya waktu, bukan berarti kisah-kisah tersebut hilang dari peredaran.
Pada abad ke-19, kisah bergenre itu muncul dalam karya-karya penyair besar, seperti Samuel Coleridge, William Blake, dan John Keats.
Namun, berbeda dengan periode sebelumnya, konsep fantasi pada era tersebut berkaitan erat dengan imajinasi kreatif seorang penulis ketimbang kepercayaan terhadap hal-hal mistis (Manlove, 259). Konsep inilah yang bertahan hingga sekarang yang melahirkan karya-karya, seperti Alice’s Adventure in Wonderland (1865) dari Lewis Caroll; trilogi LOTR (1954-55) milik JRR Tolkien; seri Chronicles of Narnia-nya CS Lewis (1950-1956); hingga Harry Potter yang fenomenal serta trilogi His Dark Material yang kontroversial karya JK Rowling dan Phillip Pullman.
Menuju pencerahan
Keberadaan karya-karya tersebut, kendati masih sering kali dikategorikan dalam sastra anak-anak, bukan berarti tidak berbobot dan mencerahkan seperti karya-karya sastra nonfantasi lainnya. Cerita dengan setting imajiner pun tetap bisa memuaskan kebutuhan intelektual maupun spiritual pembacanya melalui interprestasi atau pemaknaan mendalam terhadap berbagai karakter, simbol, dan tema kisah itu sendiri.
Semua penjelasan itu memberi kita alasan mengapa sastra fantasi (walau tak harus diikuti pembuatan filmnya) tidak hanya populer saat ini, tetapi juga berfungsi mencerahkan. Memberi alternatif intelektual bahkan spiritual bagi manusia zaman kini yang kian rancu dalam standar moral dan goyah dalam menghadapi kekinian maupun masa depannya.
Kisah-kisah fantasi dalam sastra, saat ini, boleh dibilang sedang berada di puncak popularitasnya. Cerita-cerita bergenre tersebut tak hanya populer di kalangan anak-anak, tetapi juga meluas di kalangan remaja dan dewasa. Sebuah fenomena yang tidak begitu kuat terjadi pada dekade-dekade sebelumnya.
Hadirnya milenium baru seakan menjadi pintu pembuka popularitas kisah-kisah di negeri antah-berantah yang identik dengan anak-anak ini. Dimulai dari sukses besar seri Harry Potter yang diikuti oleh versi layar lebarnya. Kemudian berlanjut dengan keberhasilan film trilogi Lord of the Ring—biasa disebut LOTR— baik dalam segi finansial maupun penghargaan internasional, seperti Oscar dan Golden Globe.
Hal ini berimbas pada pembuatan versi layar lebar kisah-kisah fantasi lainnya, seperti Chronicles of Narnia, Beowulf serta yang terbaru, Golden Compass—seri pertama trilogi His Dark Material. Hal ini juga diikuti oleh membanjirnya novel-novel yang menjadi bahan dasar adaptasi film-film itu di toko-toko buku yang tak pernah sepi peminat. Meski tak semua versi layar lebarnya memenuhi harapan pembaca setianya, namun hal itu berpengaruh pada popularitas kisah-kisah tentang dunia imajiner yang memesona tersebut.
Apa yang menjadi keistimewaan cerita-cerita bergenre ini? Menurut JRR Tolkien, sang penulis trilogi LOTR ini, dunia fantasi mampu memuaskan hasrat manusia untuk melepaskan diri dari segala keterbatasan dalam kehidupan yang fana ini, termasuk kematian itu sendiri (Charles Moseley, 1997:27).
Kisah-kisah itu menyediakan semacam kemungkinan untuk hal-hal di atas. Tak mengherankan jika cerita-cerita fantasi tak pernah hilang ditelan waktu dan akan selalu memikat manusia tanpa mengenal usia. Bahkan, beberapa di antaranya tak hanya sekadar menghibur, tetapi juga merangsang pencerahan dengan berbagai unsur filsafat, religi dan pengetahuan-pengetahuan lainnya di dalamnya.
Definisi fantasi
Pada umumnya, kisah-kisah fantasi sering diidentikkan dengan petualangan di dunia imajiner yang penuh dengan keajaiban. Namun, apa sebenarnya pengertian fantasi itu sendiri? Colin Manlove dalam Modern Fantasy: 5 Studies (1975) merumuskannya sebagai suatu dunia fiksi yang memesona, yang mengandung elemen-elemen supernatural-substansial dan tak selalu dapat dijelaskan dengan penciptaan ”dunia” atau tak dapat ditemukan dalam cerita-cerita bergenre lain yang lebih bersifat plausible, atau memungkinkan terjadi di dunia nyata.
Kisah-kisah ini sendiri sebenarnya telah dikenal sejak awal peradaban manusia yang dibungkus dalam legenda dan mitos-mitos kuno. Tak mengherankan jika cerita-cerita bergenre ini tak bisa dilepaskan dunia kesusastraan, meski sering kali diidentikkan dengan cerita anak-anak.
Dalam sejarah sastra Barat, kisah fantasi telah berkembang sebelum era Renaisans. Salah satunya, yaitu karya sastra Barat kuno terkemuka, dalam bentuk puisi epik, Beuwolf. Namun, pada perkembangannya karya-karya bernuansa ini sempat tak populer di zaman Renaisans, masa di mana logika dan ilmu pengetahuan menjadi elemen paling menonjol sehingga mendorong penolakan terhadap hal-hal yang berbau fantasi (Manlove, 2).
Pada abad pertengahan, hadirnya kembali kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau supernatural akibat pengaruh doktrin gereja merangsang kembali lahirnya kisah-kisah fantasi. Adapun pada saat yang hampir bersamaan di jazirah Arab muncul kisah-kisah 1001 malam, seperti Aladin ataupun Petualangan Sinbad yang penuh dengan elemen-elemen supernatural dengan pengaruh budaya Arab. Namun, meski popularitasnya sempat memudar seiring berjalannya waktu, bukan berarti kisah-kisah tersebut hilang dari peredaran.
Pada abad ke-19, kisah bergenre itu muncul dalam karya-karya penyair besar, seperti Samuel Coleridge, William Blake, dan John Keats.
Namun, berbeda dengan periode sebelumnya, konsep fantasi pada era tersebut berkaitan erat dengan imajinasi kreatif seorang penulis ketimbang kepercayaan terhadap hal-hal mistis (Manlove, 259). Konsep inilah yang bertahan hingga sekarang yang melahirkan karya-karya, seperti Alice’s Adventure in Wonderland (1865) dari Lewis Caroll; trilogi LOTR (1954-55) milik JRR Tolkien; seri Chronicles of Narnia-nya CS Lewis (1950-1956); hingga Harry Potter yang fenomenal serta trilogi His Dark Material yang kontroversial karya JK Rowling dan Phillip Pullman.
Menuju pencerahan
Keberadaan karya-karya tersebut, kendati masih sering kali dikategorikan dalam sastra anak-anak, bukan berarti tidak berbobot dan mencerahkan seperti karya-karya sastra nonfantasi lainnya. Cerita dengan setting imajiner pun tetap bisa memuaskan kebutuhan intelektual maupun spiritual pembacanya melalui interprestasi atau pemaknaan mendalam terhadap berbagai karakter, simbol, dan tema kisah itu sendiri.
Semua penjelasan itu memberi kita alasan mengapa sastra fantasi (walau tak harus diikuti pembuatan filmnya) tidak hanya populer saat ini, tetapi juga berfungsi mencerahkan. Memberi alternatif intelektual bahkan spiritual bagi manusia zaman kini yang kian rancu dalam standar moral dan goyah dalam menghadapi kekinian maupun masa depannya.