Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mendukung imbauan MUI Jombang yang mengharamkan penukaran uang setiap mendekati lebaran.
"Itu nggak perlu fatwa, karena yang namanya riba (bunga uang) itu memang diharamkan dalam agama. Islam memang melarang jual-beli uang dengan uang yang tidak setara," jelas Rais Syuriah PWNU Jatim KH Abdurahman Navis LC MHI kepada ANTARA di Surabaya belum lama ini.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi fatwa Ketua MUI Jombang KH Kholil Dahlan bahwa penukaran uang itu haram, karena merugikan konsumen dan jual beli uang itu identik dengan riba. Menurut KH Abdurrahman Navis, penukaran uang yang diperbolehkan agama itu harus sepadan/setara, yakni uang Rp100 ribu harus ditukar dengan uang receh Rp100 ribu. Sehingga tidak boleh ada selisih seperti Rp100 ribu dengan uang receh Rp90 ribu.
"Kalau ada selisih itu berarti riba dan hal itu dilarang agama. Boleh saja ada imbalan jasa, tapi uang Rp100 ribu tetap harus ditukar Rp100 ribu, lalu ada imbal jasa seikhlasnya. Kalau imbal jasa sudah ditentukan terlebih dulu sebesar 10 persen berarti uang berbunga dan belum tentu bukan ikhlas," imbuhnya.
Ia menjelaskan, agama melarang jual-beli tanpa akad (perjanjian) dan prosesnya merugikan pihak lain. "Kalau bank sekarang `kan sudah ada alternatif perbankan syariah, sehingga masyarakat bisa memilih," ujarnya.
Untuk praktik penukaran uang yang sudah berkembang jauh, dia menyarankan hal itu dihentikan dan pemerintah harus menghentikan pola perdagangan uang yang haram itu dengan alternatif lain.
Senada dengan hal tersebut, Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori menegaskan bahwa pihaknya mendukung fatwa MUI Jombang. Namun MUI Jatim tidak perlu mengeluarkan fatwa serupa melainkan cukup dengan imbauan.
"Islam sudah jelas mengharamkan riba karena itu berpulang kepada umat Islam sendiri, apakah tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Yang jelas kalau penukaran uang seperti sekarang diperbolehkan dengan alasan imbalan jasa itu namanya rekayasa," urainya di sela-sela peluncuran Masjid Bintang.
Karena itu ia menyarankan pemerintah mendesak kalangan perbankan untuk menyediakan loket penukaran uang yang cukup sehingga tidak direkayasa untuk kepentingan bisnis.
"Kalau perlu penukaran uang itu bisa dilakukan dengan unit-unit perbankan, sehingga masyarakat tidak harus antre terlalu lama dan akhirnya dimanfaatkan untuk bisnis penukaran uang. Pemerintah dan perbankan harus menghentikan budaya yang tidak baik itu," ujarnya.
Tentang praktik 'money changer' (penukaran uang) untuk mata uang antarnegara, ia menyatakan hal itu diperbolehkan sebatas penukaran itu setara nilai tukar yang berlaku saat itu.
"Syaratnya adalah penukaran uang harus dijalankan secara tunai dan untuk mata uang yang berbeda. Sedangkan untuk mata uang yang sama maka sama sekali tidak boleh mengambil keuntungan contoh rupiah ditukar dengan rupiah maka hal itu bisa jatuh ke riba," jelasnya.
0 komentar:
Posting Komentar