Kedua pelajar naas itu yakni, Rizki Amelia (15) dan Arum Damayanti (15).
Informasi yang berhasil dihimpun detiksurabaya.com menyebutkan, peristiwa yang
menimpa Rizki dan Arum bermula dari adanya razia handphone pada akhir bulan November 2010 lalu. Razia itu dilakukan setelah sebelumnya terjadi kehilangan sejumlah uang milik salah satu siswa. Saat itu tidak ditemukan adanya siswa yang kedapatan membawa handphone di dalam kelas.
Hasil tersebut rupanya tak membuat sekolah puas. Dengan mengerahkan tenaga guru BP agar dengan cara persuasif meminta siswa yang memiliki handphone menyerahkan kepada guru. Dengan janji handphone akan dikembalikan seusai jam pelajaran selesai. Cara tersebut ternyata bisa meminta 9 siswa menyerahkan handphone miliknya.
Namun seorang tenaga guru BP bernama Shoimah diduga melakukan pelanggaran kesepakatan, dengan menolak menyerahkan handphone milik siswa seusai jam pelajaran. Bahkan sang guru juga dituduh mengungkapkan perkataan ancaman, sesaat setelah berhasil menyita handphone dari sejumlah siswanya.
"Dia bilang, handphone tidak akan diberikan sebelum selesai ujian nasional. Itu kan
namanya melanggar kesepakatan," ungkap Nandar, orangtua dari Arum kepada detiksurabaya.com seusai melaporkan peristiwa yang menimpa anaknya ke Inspektorat
Kota Kediri,
Nandar menambahkan, pelanggaran yang dilakukan Shoimah tersebut memicu kemarahan anaknya, yang selanjutnya menuliskan kekesalan dalam status Facebook.
"Anak saya nulis wong tuwek kudune kuwi ibadah tur golek pahala, wong arep mati (orang tua itu seharusnya ibadah dan cari pahala, orang mau mati). Dari sana si Rizki komentar HP ku yo ditahan, pancene huuasuu, dipateni ae penake (HP ku juga ditahan, memang (maaf) anjing, dibunuh saja enaknya)," sambung Nandar.
Tulisan status tersebut rupanya diketahui salah satu guru, yang selanjutnya melaporkannya ke sekolah. Sebagai tindak lanjut, sekolah memanggil kedua siswi bersangkutan dan memintanya menuliskan surat pernyataan permintaan maaf.
Namun hal tersebut rupanya tak cukup, karena belakangan orangtua dari kedua siswi tersebut juga dipanggil ke sekolah, dan diminta dengan sangat agar memindahkan anaknya ke sekolah lain.
"Kalau saya tidak masalah anak saya dipindah, lha wong saya juga sadar anak saya salah. Tapi masalahnya, anak saya down, dia nggak mau sekolah kalau sampai keluar dari SMP delapan," tegas Nandar.
Yang membuat Nandar semakin tidak terima, saat diminta membuat surat pernyataan anaknya juga mendapatkan tekanan dari pihak sekolah, dengan dipaksa menuliskan nama
guru yang menjadi sasaran dari status Facebooknya. Terlebih setelah pihak sekolah
juga diakuinya tidak bisa menunjukkan print out asli atas tulisan status anaknya
"Padahal kan tidak. Anak saya sama sekali tidak menuliskan nama, apalagi sekolah,"
tandasnya.
Atas ketidak terimaannya tersebut, Nandar memilih melapor ke Inspektorat Kota Kediri
untuk mencari pemecahan. Terlebih setelah upaya perdamaian dengan guru BP yang diduga menjadi sasaran status facebook anaknya tak kunjung membuahkan hasil, karena yang bersangkutan selalu mangkir dalam 6 kali pertemuan yang dimediasi msekolah dan Dinas Pendidikan Kota Kediri.
Sementara Kepala Inspektorat Kota Kediri Hariyono, dikonfirmasi mengenai adanya laporan tersebut menganggapnya sebagai hal yang salah alamat, karena permasalahan
tersebut sebenarnya menjadi kewenangan Dinas Pendidikan untuk menyelesaikannya. Meski demikian dia siap mengambil tindakan, dengan mempertemukan pihak-pihak yang bertikai, agar bisa mendapatkan penyelesaian terbaik.
"Besok rencananya akan saya pertemukan semua, meski sebenarnya ini bukan wewenang saya. Jadi apapaun besok hasilnya, itu bukan keputusan saya, tapi saran tindak," ujar Hariyono.
Hariyono juga berharap keputusan terbaik akan dihasilkan dari permasalahan tersebut,
karena penulisan status dengan kata-kata kotor oleh seorang siswi di facebook hendaknya juga bisa dihindari. "Tadi lihat sendiri, saya juga pesan ke orangtua agar bisa mengawasi anak-anaknya saya bermain facebook," pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar