Dr.Muhammad bin Musa Alu Nasr
hafidzhahullah pada Senin 11 Oktober 2009 dalam acara Liqa Maftuh di
Daurah Syar’iyyah ke-10 di Trawas Mojokerto pernah berkata terkait
jadwal subuh yang terlalu cepat, ”30 menit itu terlalu banyak, kalau
dikatakan selisihnya adalah 20 menit maka itu mungkin (beliau sepertinya tidak tahu Indonesia menggunakan sudut (-20°) sedangkan di Yordania (-18°), jadi berselisih 10 menit-red).
Sebenarnya dahulu aku beranggapan problem ini hanya ada di negeri kami,
Syam. Akan tetapi kemanapun aku pergi kujumpai problem ini. Suatu hal
yang disayangkan…Aku tidak tahu siapa aktor di balik konspirasi terhadap umat Islam ini untuk merusak shalat mereka.”
Pertanyaan
dan misteri di balik ini sedikit terkuak dan terungkap pada Kajian
Koreksi Waktu Shubuh yang digelar di Masjid Al-Sofwa pada tanggal 26
Februari 2012 M/05 Rabi`uts Tsani 1433 H dengan pembicara al-Ustadz Agus
Hasan Bashari, Lc. MAg yang telah melakukan observasi fajar shadiq di
beberapa daerah di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bima,
Lombok dan Bali, Papua dan daerah-daerah lainnya. Acara yang dihadiri
sekitar 400-an orang ini juga menampilkan foto-foto hasil lima kali
observasi fajar shadiq di Papua.
Memanglah sejak
zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kaum muslimin senantiasa
menentukan waktu-waktu sholat dengan cara melihat pergerakan matahari
dan pergerakan benda-benda langit. Namun sejak pemerintah kolonial
Inggris di Mesir menugaskan Lehman dan Melthe
(1908-1909) untuk menetapkan penanggalan termasuk waktu-waktu shalat,
kaum muslimin cenderung mengandalkan perhitungan tersebut dan mulai
meninggalkan cara-cara tradisional yang mengandalkan pada fenomena alam.
Dr. Ismail Khalifah, pakar ilmu ukur Fakultas Teknik Universitas Al-Azhar Mesir dan Ketua Badan Otoritas Pengukuran Umum Mesir dalam tulisannya Muqaddimah Falakiyah
halaman 8 menjelaskan,”Sesungguhnya Badan Otoritas Pengukuran Umum
Mesir mengadakan perhitungan tentang jadwal shalat shubuh (fajar shadiq)
ketika matahari dalam posisi (-19°) di bawah ufuk. Ini berdasarkan
rekomendasi dua pakar asing, yaitu Lehman dan Melthe yang diperintahkan untuk mengadakan kajian di Aswan tentang syafaq pada musim hujan tahun 1908, keduanya menerbitkan hasil riset dan merekomendasikannya pada tahun 1909.”
Ketika itu penetapan ini diakui oleh masyarakat Mesir menyelisihi
waktu-waktu shalat yang dipakai pada masa Muhammad Ali Basya dan Negara
Turki Utsmaniyah yang mengandalkan bayangan matahari dan analoginya
serta berdasarkan terbitnya fajar shadiq. Terlebih lagi penetapan ini
juga berseberangan dengan ilmu astronomi yang mematok sudut (-18°) di
bawah ufuk sebagai awal munculnya hamburan cahaya di atas langit.(Lihat Fajar Astronomi versi USNO ; juga lihat Definition of Twilight). Jadi penetapan Lehman dan Melthe benar-benar lebih dini dan jauh lebih malam dari kriteria ilmu astronomi itu sendiri.
Hasil riset dua insinyur Inggris inilah yang akhirnya ditiru dan
diterapkan oleh hampir semua negara muslim tanpa dilakukan observasi dan
uji keilmiahan sebelumnya.
Pada tahun 1975 dengan
alasan kehati-hatian, Saadoedin Djambek yang oleh sebagian orang
disebut sebagai mujaddid al-hisab Indonesia menambah kriteria Mesir yang
memang sudah menyalahi ilmu astronomi itu menjadi (-20°) di bawah ufuk
sehingga menjadi semakin dini dan lebih malam lagi.
Sudah
tepatkah penetapan sudut -20°, -19° ,-18° di bawah ufuk itu? Nyatanya
di Inggris sendiri, yang berpatokan pada (-18°) di bawah ufuk untuk
fajar astronomi, organisasi Islam di University of Anglia Norwich
berdasarkan observasi yang melibatkan pakar astronomi menerapkan (-15°)
untuk awal waktu shubuh! Demikian juga ISNA (Masyarakat Islam Amerika
Utara) menetapakan (-15°) serta penelitian di Dahna’ (150 km dari
Riyadh) Lembaga Penelitian Falak dan Geofisika Al-Malik Abdul Aziz di
Madinah KSA pada tahun 2005 menemukan bukti bahwa waktu shubuh (fajar
shadiq) muncul pada sudut (-14,6°) !!!
Hasil observasi kaum muslimin di atas ternyata sejalan dengan temuan Tim Qiblati dan banyak tim privateer
lainnya yang telah melakukan observasi di berbagai wilayah di Indonesia
yang menunjukkan bahwa fajar shadiq terlihat jelas pada posisi (-15°)
sampai (-14°) di bawah ufuk. (Silakan lihat kembali Shubuh di Indonesia Terlalu Pagi )
“Alhamdulillah,
kami telah menulis surat resmi kepada Kementerian Agama dan MUI serta
telah bertemu dengan Menteri Agama, Dirjen Kemennag dan Ketua-ketua dan
pengurus harian MUI terkait permasalahan waktu shubuh dan mereka semua
sangat apresiatif dan mendukung upaya-upaya observasi ilmiah untuk
kemashlahatan umat,” kata al-Ustadz Agus Hasan Bashari, Lc. M.Ag. “Insya
Allah, geliat perbaikan dan observasi berjalan terus dan semakin
meningkat. Khususnya terkait dengan Mukernas Rukyatul Hilal Indonesia di
Yogyakarta dan Musyawarah Kerja Badan Hisab dan Rukyat Kemennag
mendatang,” tambah ustadz yang juga dijadwalkan sebagai salah satu
pembicara pada acara tersebut. (sd).
لَعَّلَكُمْ سَتَدْرِكُوْنَ أقْوَامًا يُصَلُّوْنَ صَلاَةً لِغَيْرِ
وَقْتِهَا فَإذَا أدْرَكْتُمُوْهُمْ فَصَلُّوْا فِيْ بُيُوْتِكُمْ فِي
الْوَقْتِ الَّذِيْ تَعْرِفُوْنَ ثُمَّ صَلُّوْا مَعَهُمْ وَاجْعَلُوْهَا
سُبْحَةً.
“Barangkali kalian akan menjumpai kaum-kaum
yang melakukan shalat di luar waktunya; jika kalian menjumpai mereka
maka shalatlah di rumah-rumah kalian pada waktu yang kalian kenal,
kemudian shalatlah bersama mereka dan jadikanlah itu sebagai sunnah.”
(HR.Ahmad 1/379).
0 komentar:
Posting Komentar