Mendengar es dung-dung, langsung terngiang abang-abang yang menyorong gerobak sembari membunyikan gong kecil dari kuningan. Suaranya dung..dung..dung. Penanda bahwa penjual es ada di dekat kita. Kini suara tersebut mulai jarang terdengar, begitu pula esnya.
"Es Dung-dung pernah berjaya tahun 1970-1980an ketika es krim masih mahal," ujar Chef Sandra Djohan ketika ditemui di Restoran Kemang, Jakarta, Selasa 10 Januari 2012.
Tapi kini seiring mulai tumbuhnya industri es krim di Indonesia, maka es-es lokal pun mulai tergusur. Termasuk Es Dung-Dung yang mulai hilang pamor pada awal 2000-an. Selain gempuran es krim pabrik, proses pembuatan es dung-dung yang lama juga jadi masalah bagi penjual es tradisional.
Menurut Sandra, paling tidak dibutuhkan 7 hingga 8 jam untuk mengaduk bahan hingga jadi es dung-dung. "Jadi secara cost tinggi," ujar pemilik restoran Epilogue ini.
Padahal es dung-dung yang berbahan dasar santan menghasilkan tekstur khas. Lebih kasar,bisa dicampur dengan aneka buah atau manisan, dan meninggalkan sensasi after taste. "Kelebihan es dung-dung adalah hubungan santan dengan bahan lain bisa nyatu," ujarnya.
Pada es krim pabrikan, Sandra melanjutkan, mayoritas bahan adalah telur dan susu. "Rasanya jadi machtig atau lebih eneg."
Di Indonesia, es krim diperkenalkan bangsa Belanda. Biasanya sajian ini dikeluarkan menjadi makanan penutup untuk para tuan dan noni Belanda yang tinggal di kota-kota besar. Melihat kelezatan es tersebut, abang-abang penjual makanan pun tak kalah akal untuk menyajikan makanan serupa demi rakyat jelata. Maka hadirlah paduan santan yang lebih ekonomis dan aneka bahan dari buah lokal seperti alpukat, nangka dan kelapa muda dalam sebuah es dung-dung.
Es dung-dung yang juga dikenal sebagai es puter biasanya disajikan abang penjual dengan pilihan cone, roti tawar ataupun dalam gelas kaca. Kini, kata Sandra, kepopuleran es krim tradisional ini harus bisa dinaikkan lagi. "Es dung-dung harus jadi ikon kuliner Indonesia," ujar perempuan yang mengambil master di Le Cordon Bleu Paris Culinary Arts School Paris.
Terbukti pada pertemuan World Association of Chefs Societies 2011,respon pengunjung terhadap es dung-dung yang disajikan Sandra sangat bagus. "Mungkin karena orang butuh pilihan yang lebih fresh dan rasa yang berbeda," tutur perempuan berambut panjang ini.
0 komentar:
Posting Komentar