Indonesia kaya dengan beragam sumber energi, baik fosil dan nonfosil. Mungkin karena itulah pengembangan energi bersih dan terbarukan seperti tertatih-tatih.
Misalnya, dari 27 ribu megawatt (MW) potensi energi panas bumi yang dimiliki Indonesia, sejak dikembangkan pada 1970-an, baru tiga persen atau 1.000 MW saja yang telah dimanfaatkan.
>>Baca juga: Tentang Energi: Saatnya Bermain yang Baru
Hal ini berbeda Filipina misalnya. Negara ini tak memiliki cadangan minyak dan gas bumi. Mereka hanya memiliki geotermal alias panas bumi. Mau tidak mau, mereka pun memanfaatkannya untuk keperluan pengadaan listrik mereka. Tak mengherankan jika dari potensi panas buminya yang mencapai 4.335 MW, Filipina sudah memanfaatkan hampir setengahnya.
Sejak akhir 1970-an, sebenarnya sudah banyak kalangan yang mengingatkan bahwa Indonesia harus cepat-cepat mengurusi sumber energi alternatif, dan tidak boleh terlena dengan kejayaan minyak bumi. Tujuannya pun kala itu jelas, agar minyak bumi yang diekspor lebih besar, dan pendapatan negara menjadi lebih meningkat.
Sejumlah negara penghasil minyak berhasil lepas dari keterlenaan itu, setidaknya mampu meningkatkan penggunaan energi alternatif dengan lebih baik. Brasil, misalnya, sejak 1970-an telah mengembangkan biofuel. Kini mereka menikmati hasilnya. Pompa bensin nabati ada di mana-mana di negara sepak bola itu.
Contoh lainnya adalah Meksiko. Kendati menjadi pengekspor minyak bumi terbesar kesembilan, negara tetangga Amerika Serikat ini tak melupakan potensi panas buminya. Dari 6.000 MW potensi, mereka telah memanfaatkan 950-an MW, atau sekitar 15 persennya.
Indonesia tergolong tertinggal. Tapi, tak boleh lagi Indonesia lebih terlambat untuk fokus, dan memilih mana energi alternatif yang dengan segala upaya dikembangkan untuk mengganti minyak bumi yang cadangannya tak lama lagi akan habis.
Untuk mewujudkan rencana ini, dibutuhkan adanya sinergi dari berbagai pihak. Kegiatan pemetaan potensi, pemilihan teknologi, hingga komersialisasi dan regulasi baik itu oleh pemerintah, perguruan tinggi, dunia usaha dan badan-badan riset yang ada.
>>Baca juga: Produksi Minyak Dihambat 'Benda Terapung'
Thonthowi Djauhari memulai pengalaman jurnalistiknya sejak 1996. Ia pernah bertugas di Republika, Tempo, dan kini menjabat deputi redaktur pelaksana harian Jurnal Nasional. Ia mengikuti isu-isu energi dan sumber daya mineral.
0 komentar:
Posting Komentar