Di momen tahun baru ini, saya teringat setahun yang lalu saat hari-hari menjelang tahun baru 2011. Saat itu saya yang kuliah di UGM menghabiskan waktu minggu tenang di rumah saya di Bogor, Jawa Barat. Setelah empat hari di rumah, saya berencana kembali lagi ke Jogja pada 1 Januari 2011 karena pada tanggal 3 Januari UAS akan dimulai.
Dua hari sebelum pulang ke Jogja, saya berencana membeli tiket kereta api untuk ke Jogjakarta. Sebenarnya saya ingin membeli tiket tersebut di agen travel , tetapi karena sedang ada gangguan system, maka saya harus langsung membeli tiket di Gambir.
Akhirnya, saya memutuskan untuk berangkat ke Gambir dengan menggunakan kereta dari stasiun Bogor. Setelah membeli tiket Pakuan Express, saya harus menunggu sekitar 45 menit sampai kereta diberangkatkan. Saya menunggu di dalam gerbong kereta sambil membaca koran. Tiket kereta saya masukkan ke dalam dompet supaya tidak hilang. Lima menit sebelum kereta diberangkatkan, saya berniat mempersiapkan tiket kereta, agar ketika ada petugas yang memeriksa, saya tidak perlu repot-repot mencari lagi.
Saat itu saya baru sadar bahwa dompet saya tidak ada. Saya ingat betul dompet itu saya letakkan di pangkuan saya, tetapi setelah mencari hingga ke kolong kursi, dompet tersebut tidak saya temukan. Karena kereta akan segera diberangkatkan, akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari kereta. Tepat ketika saya turun dari kereta, pintu kereta ditutup dan kereta langsung berjalan.
Saat itu saya langsung menuju ruang informasi untuk meminta petugas mengumumkan berita kehilangan agar bila ada orang yang menemukan dompet saya, bisa langsung menghubungi petugas stasiun kereta api.
Saat itu saya bingung karena di dalam dompet saya, selain uang tunai juga berisi surat-surat penting seperti KTP, KTM, SIM, STNK, dan ATM yang tidak mudah dibuat ulang, harus melalui prosedur yang cukup panjang.
Setelah mengabarkan ayah saya, beliau bilang akan segera menjemput saya di stasiun. Ketika sedang menunggu ayah saya, tiba-tiba ada seorang ibu dengan tiga orang anaknya yang terlihat kebingungan. Ada dorongan dalam diri saya untuk menghampiri ibu tersebut. Kepada saya, ibu tersebut bercerita bahwa ia baru saja turun dari kereta ekonomi dan tersadar bahwa tas yang dibawanya sudah dirobek orang dan dompet serta handphone ibu ini dicopet. Ia bilang, ia tidak bisa pulang ke rumahnya karena semua uangnya ia taruh di dompet.
Saya pun bercerita kepada ibu itu bahwa saya pun baru kehilangan dompet di kereta. Namun, saya teringat bahwa saya masih menyimpan uang sebesar Rp20.000 di saku celana. Akhirnya saya tanya kepada ibu itu, berapa ongkos untuk pulang ke rumahnya, dan ibu itu bilang sekitar 15.000. Akhirnya saya berikan semua uang saya agar ibu itu dan anak-anaknya bisa pulang ke rumah. Awalnya ibu tersebut menolak, karena berpikir saya juga memerlukan uang itu untuk pulang, namun setelah saya bilang bahwa saya akan dijemput ayah saya, ibu itu pun mau menerima dan ia mendoakan agar dompet saya dapat ditemukan.
Dua hari kemudian, ketika saya sudah di Jogjakarta, saya sedang bingung bagaimana saya harus mengurus surat-surat saya yang hilang, terutama STNK, karena menurut kepolisian, saya harus membuat berita kehilangan di koran atau radio terlebih dahulu jika ingin mengurus pergantian STNK. Di tengah-tengah kebingungan tersebut, saya menerima telepon dari ayah saya bahwa ada seseorang yang datang ke rumah (di Bogor) untuk mengembalikan dompet saya yang hilang di stasiun kereta tersebut.
Ayah saya bilang, semua surat-surat saya masih lengkap, tidak ada yang hilang satupun. Rasanya saya tidak percaya bahwa saya tidak perlu repot-repot mengurus pergantian surat-surat saya yang hilang yang tentunya akan sangat merepotkan dan memerlukan waktu lama.
Tiba-tiba saya teringat ibu yang waktu itu saya tolong di stasiun kereta. Saya ingat bahwa dia mendoakan agar dompet saya dapat ditemukan kembali. Saat itu saya merasakan kebaikan Allah Swt begitu nyata. Karena saya ikhlas membantu ibu yang sedang kesusahan tersebut, dan rela memberikan uang saya yang tersisa agar ibu itu dan anak-anaknya bisa pulang, Allah Swt membalasnya dengan membuat dompet saya kembali dan saya pun tidak perlu repot-repot mengurus pergantian surat-surat yang hilang.
Padahal, saat saya menolong ibu itu, saya tidak berpikir sama sekali Allah akan mengganti uang yang saya berikan kepada Ibu itu dengan balasan yang setimpal untuk saya. Saat itu, saya murni hanya ingin membantu ibu itu dan anak-anaknya agar bisa pulang ke rumah. Setelah dompet saya kembali, saya membayangkan apa jadinya bila Allah tidak bermurah hati kepada saya dengan membuat dompet saya kembali.
Tentunya saya akan kehilangan banyak waktu untuk mengurus surat-surat saya yang hilang padahal saat itu saya sedang menjalani UAS. Dan tentunya uang yang saya keluarkan untuk mengurus surat-surat saya yang hilang jumlahnya jauh di atas uang 20.000 yang saya berikan kepada ibu di stasiun itu.
Setelah mengalami keajaiban sedekah itu, terkadang “memancing rezeki” dengan bersedekah saya gunakan sebagai salah satu ikhtiar saya untuk mendapatkan sesuatu yang saya inginkan.
0 komentar:
Posting Komentar